Dampak Penetapan Status Bencana Nasional Covid-19 terhadap Anggaran
Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah resmi menetapkan penyakit akibat virus corona atau Covid-19 sebagai bencana nasional. Penetapan tersebut membawa berbagai implikasi, dari soal komando hingga penggunaan anggaran.
Penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.
Berikut adalah perkembangan terkini pandemi Covid-19 di Indonesia:
Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti mengatakan, ketetapan tersebut akan membuat Presiden lebih leluasa mengutak-atik pos anggaran. "Realokasi anggaran bisa dilakukan karena sudah ada landasan hukumnya," kata Bivitri, Selasa (14/4).
Dengan status tersebut, anggaran untuk penanganan virus corona dapat menggunakan APBN, APBD, Dana Siap Pakai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Dana Siap Pakai/belanja tidak terduga dari pemerintah daerah.
(Baca: Jokowi Tetapkan Pandemi Virus Corona Sebagai Bencana Nasional)
Selain itu, pemerintah juga dapat menggunakan dana bantuan dari masyarakat, baik orang perseorangan, badan usaha, lembaga swadaya masyarakat, baik dalam maupun luar negeri. "Untuk pendanaan dan dan pengelolaan bantuan mengacu pada PP no 22/2008," ujar Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) BNPB Agus Wibowo.
Kemudian, seiring dengan penetapan status bencana nasional, maka Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mempunyai fungsi koordinasi, komando dan pelaksana penanggulangan. Seperti diketahui, Kepala BNPB Doni Monardo saat ini juga memimpin Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Sesuai pasal 50 UU/24/2007, tuturnya, BNPB dan BPBB mempunyai kemudahan akses antara lain pengerahan SDM, pengerahan peralatan, pengerahan logistik, imigrasi, cukai dan karantina, perizinan, pengadaan barang dan jasa, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan, penyelamatan dan Komando untuk memerintahkan sektor/lembaga.
"Dengan demikian maka sekarang Ketua Gugus Tugas resmi secara hukum mempunyai fungsi komando," ujarnya.
Sebelumnya dalam Keppres Nomor 7 Tahun 2020, Gugus Tugas hanya berperan sebagai pelaksana dan koordinator penanganan Covid-19. Mereka juga hanya menjadi pengawas dalam menangani Covid-19.
(Baca: Positif Corona RI Capai 4.557 Kasus, Nyaris 400 Pasien Meninggal)
Kriteria Bencana Nasional
Penetapan status bencana nasional merujuk pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 7 ayat 2, disebutkan bahwa penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah ditentukan dari sejumlah indikator. Di antaranya adalah, jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Kemudian, penetapan status bencana nasional juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Dalam regulasi ini disebutkan bahwa Presiden lah yang berwenang menetapkan status bencana nasional.
(Baca: Jokowi Waspadai Dampak Corona terhadap Ekonomi Berlanjut Tahun Depan)
Secara umum, ada dua status bencana yakni daerah dan nasional. Status bencana daerah dikeluarkan ketika sebuah bencana masih bisa ditangani oleh pemerintah di daerah tersebut. Misalnya, saat bencana alam terjadi di sebuah kabupaten, pemerintah provinsinya masih sanggup menanggulanginya.
Sedangkan status bencana nasional dapat dikeluarkan ketika bencana tersebut terjadi di beberapa lokasi dan gubernur sudah tidak sanggup menanganinya.
Daftar Bencana Nasional
Pemerintah telah tiga kali menetapkan status bencana nasional, sebelum wabah Covid-19. Kendati, Covid-19 merupakan satu-satunya yang disebut sebagai bencana non-alam.
Status bencana nasional pertama kali ditetapkan pada tsunami Aceh yang menewaskan 130 ribu jiwa. Gempa dan tsunami yang terjadi pada 2004 itu praktis melumpuhkan pemerintah daerah, sehingga pemerintah pusat mengambil alih penanggulangannya.
Kemudian, Gempa dengan magnitudo 7,8 di Flores Timur pada12 Desember 1992 yang menewaskan 2.500 jiwa dan melukai 2.103 jiwa. Pada hari yang sama, tsunami Flores 1992 tercatat menewaskan 2.400 jiwa di wilayah Sikka.
(Baca: Kasus Corona Hampir 20 Ribu, Jokowi Usul ASEAN Bentuk Protokol Bersama)
Sedangkan, beberapa bencana lain seperti gempa 7,0 magnitudo pada 5 Agustus dan gempa 6,9 magnitudo pada 19 Agustus 2018 Lombok, Nusa Tenggara Barat tidak ditetapkan sebagai bencana nasional.
Padahal, Badan Nasional Penanggulanagan Bencana (BNPB) mencatat 515 meninggal dunia, 7.145 orang mengalami luka-luka, 431.416 orang mengungsi, 73.843 rumah mengalami kerusakan, dan 798 fasilitas umum & fasilitas sosial rusak.
Begitu juga bumi Yogyakarta (27/5/2006) yang menewaskan 5.773 jiwa, melukai 32.081 jiwa hanya berstatus bencana daerah. Lebih dari 2 juta orang terdampak dan mengungsi, serta 390.077 unit rumah rusak berat. Diperkirakan, kerugian akibat gempa ini mencapai Rp 29,2 triliun.