Badan Pusat Statistik mencatat, neraca perdagangan pada Februari 2020 surplus US$ 2,6 miliar., berbanding terbalik dibanding bulan lalu yang defisit US$ 860 juta. Surplus terjadi karena penurunan impor yang cukup tajam pada bulan lalu.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti menjelaskan impor pada bulan lalu turun 18,69% dibandingkan Januari 2020 menjadi US$ 11,6 miliar. Sementara ekspor masih naik naik 2,24% menjadi US$ naik US$ 13,994 miliar.
"Neraca perdagangan kita surplus US$ 2,34 miliar. Cukup besar surplusnya karena impor turun cukup signifikan dan ekspor naik", kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti di Jakarta, Senin (16/3).
(Baca: Awal Tahun, Utang Luar Negeri Indonesia Tembus Rp 5.600 Triliun)
Yanita menjelaskan ekspor pada Februari juga tumbuh 11% dibanding periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ekspor masih terjadi pada barang nonmigas yang mencapai 14,64% dibanding periode yang sama tahun lalu atau tumbuh 2,38% dibanding bulan lalu menjadi US$ 13,12 miliar.
"Ekspor migas dibanding Januari turun 0,02% menjadi US$ 13,94 miliar, secara year on year-nya turun 26,51%," ujar Yunita.
Kenaikan ekspor masih terjadi pada kelompok barang logam mulia dan perhuasan, kendaraan, lemak dan minyak hewan/nabati, serta bahan bakar mineral. Sedangkan penurunan terjadi pada kelomok barang pakaian dan aksesoris, pulp dan kayu, tembaga, serta alas kaki.
"Kenaikan ekspor nonmigas terbesar terjadi untuk tujuan Singapura sebesar US$ 281,5 juta. Sedangkan negara dengan penurunan ekspor terbesar Tiongkok sebesar US$ 245,5 juta," kata dia.
(Baca: Terdampak Corona, Neraca Dagang Februari Diramal Surplus)
Adapun impor pada Februari, menurut dia, turun 5,11% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan impor terutama terjadi pada barang nonmigas mencapai 7,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atay 19,77% dibanding bulan lalu menjadi US$ 9,85 miliar.
Sementara itu, impor migas turun 12,5% dibanding bulan lalu, tetapi naik 10,33% dibanding Februari 2019 menjadi US% 1,75 miliar.
"Impor pada penggunaan barang, baik konsumsi, bahan baku, maupun barang modal turun baik secara bulanan maupun tahun," jelas dia.
Penurunan paling tajam terjadi pada impor barang konsumsi yang mencapai 39,91% atau 12,81% secara tahunan menjadi US$ 0,88 miliar. Sedangkan impor bahan baku atau penolong turun 15,89% secara bulanan atau 1,5% secara tahunan menjadi US$ 8,89 miliar dan barang modal turun 18,03% secara bulanan atau 16,44% secara tahunan menjadi US$ 1,83 miliar.
"Penurunan impor nonmigas terbesar terjadi dari Tiongkok mencapai US$ 1,94 miliar," jelas dia.