Keputusan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat atau USTR mencoret Indonesia dalam daftar negara berkembang berpotensi memangkas kinerja ekspor. Defisit neraca perdagangan pun dikhawatirkan membengkak lantaran perdagangan dengan AS selama ini menghasilkan surplus besar.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance atau INDEF Ahmad Heri Firdaus memperkirakan, kinerja ekspor ke AS dapat meurun hingga 2% pada tahun ini. "Bisa minus antara 1% - 2% ekspor kita ke AS yang biasanya meningkat," kata Heri saat ditemui di Jakarta, Kamis (27/2).
Penurunan terbesar diperkirakan terjadi pada alas kaki yang merupakan produk utama ekspor Indonesia ke AS mencapai 2,2%. Di susul produk tekstil dan produk tekstil sebesar 1,56%, karet 1,1%, minyak sawit mentah atau CPO 1,4%, produk mineral dan pertambangan 0,3%, serta komponen mesin listrik 1,2%.
(Baca: Dianggap Negara Maju, Indonesia Terancam Bea Masuk Anti Subsidi AS)
Ekspor ke AS yang berpotensi membuat defisit neraca perdagangan Indonesia semakin membengkak. "Karena AS ini bisa dibilang andalan surplus kita. Kalau andalannya saja sudah berkurang gimana dengan neraca perdagangan kita, devisa, atau transaksi berjalan," ucap dia.
Ekonom Senior INDEF Aviliani menuturkan, Indonesia tak boleh tinggal diam atas pencabutan status negara berkembang oleh AS. "Jangan berbangga dulu. Kita harus tolak seperti langkah Tiongkok," ujar Aviliani saat ditemui di tempat yang sama.
AS saat ini merupakan mitra dagang utama kedua setelah Tiongkok. Ekspor Indonesia ke Negara Paman Sam tersebut mencapai US$ 17,7 miliar atau setara 11% total ekspor yang mencapai US$ 167,5 miliar pada tahun lalu.
Indonesia selama ini juga mengalami surplus dagang dengan AS. Totalnya tahun lalu mencapai US$ 8,4 miliar.
(Baca: Sisi Negatif Status Negara Maju bagi Neraca Dagang Indonesia – AS)
Tak hanya perdagangan ke AS, menurut Aviliani, ekspor Indonesia secara keseluruhan berpotensi menurun jika pemerintah tak segera mengambil langkah. Ini juga akan berdampak pada neraca perdagangan dan transaksi berjalan pada akhirnya.
"Sehingga kita akan punya masalah baru," kata dia.
AS mencoret Indonesia sebagai anggota negara berkembang dalam prinsip hukum Countervailing Duty (CVD) pada 10 Februari 2020. Terdapat dua alasan, yakni porsi perdagangan Indonesia terhadap dunia yang sudah berada di atas 0,5% dan masuk dalam kelompok 20 negara ekonomi terbesar atau G20.
Implikasi dari hukum countervailing duty yang sebelumnya mendapatkan keringanan penyediaan subsidi hingga 2% dan volume standar impor yang diabaikan akan dihapuskan. Dampaknya adalah pihak USTR AS akan melakukan penyelidikan atas berbagai produk impor Indonesia, serta akan melakukan tindakan balasan yang akan ditentukan kemudian.