Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri menilai metode penghitungan kenaikan upah minimum Kota/Kabupaten (UMK) berdasarkan pertumbuhan ekonomi secara makro tidak tepat. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi tidak selalu diimbangi dengan pertumbuhan industri secara sektoral.
Dia mencontohkan penetapan kenaikan upah di Jawa Barat yang merupakan basis produksi industri alas sepatu sebesar 8,51% sangat memberatkan pengusaha. Hal tersebut dinilai kontradiktif dengan kondisi industri tersebut.
"Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 itu kan kenaikan upah dihitung secara makro. Padahal industri sektoral dan ekspor kami turun, tapi ekonomi tumbuh," ujar Firman di Jakarta, Rabu (11/12).
Pelaku usaha pun menilai perhitungan kenaikkan upah minimum tidak bisa ditetapkan berdasarkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pelaku usaha meminta pemerintah mempertimbangkan kondisi sektor industri dalam memutuskan kenaikkan upah menimum.
"Masing-masing industri berbeda kondisinya, belum lagi bicara pada kemampuannya, jadi tidak bisa disamakan dengan industri yang sedang tumbuh," kata dia.
(Baca: Surat Edaran Ridwan Kamil Soal Upah Cegah Relokasi Pabrik dari Jabar)
Firman menduga aturan kenaikan upah tenaga kerja kerap dijadikan komoditas politik bagi para pejabat untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Pemerintah daerah juga dirasa tak memiliki keberanian untuk menunda atau menolak usulan serikat pekerja yang menuntut kenaikan upah ketika bisnis sedang merosot.
"Kalau ini terus-terusan sebagai komuditas politik, kami akan selalu dirugikan," ujarnya.
Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan, Dinar Titus Jogaswitani mengatakan pemerintah mengeluarkan kebijakan upah minimum untuk melindungi pengusaha, tenaga kerja dan pecari kerja. Sebelumnya, penetapan upah minimum dihitung berdasarkan metode survei harga Kebutuhan Hidup Layak (KHL), namun tidak mempertimbangkan inflasi.
"Saat ini nilai KHL berubah tergantung inflasi. Jadi dasarnya inflasi," kata Dinar.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) pada 2020 sebesar 8,51 persen. Kenaikan ini berdasarkan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional 2019.
Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor B-m/308/HI.01.00/X/2019 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2019.
Berdasarkan data BPS, inflasi pada tahun ini sebesar 3,39 persen dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12 persen. Dengan mengacu data tersebut maka UMP dan UMK tahun 2020 ditetapkan naik sebesar 8,51 persen. Kenaikan tersebut lebih tinggi dibanding kenaikan tahun ini yang hanya sebesar 8,03 persen.
(Baca: Kemenperin: Industri Komponen Otomotif Keluhkan Kenaikan Upah Minimum)