Bank Dunia memproyeksi kemacetan yang terjadi di kota-kota besar Indonesia menimbulkan kerugian paling sedikit US$ 4 miliar atau sekitar Rp 56 triliun (asumsi kurs Rp 14 ribu per dolar AS). Nilai tersebut setara dengan 0,5% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Senior Urban Economist World Bank Mark Roberts menyebutkan, banyak kawasan perkotaan menunjukkan tanda-tanda tekanan kepadatan karena ketidakmampuan dalam mengelola urbanisasi. Salah satunya, kemacetan lalu-lintas yang berdampak negatif terhadap kelayakan huni dan produktifitas masyarakat.
"Total biaya yang terbuang akibat kemacetan di Indonesia minimal US$4 miliar per tahun atau setara dengan 0,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional," kata Mark dalam peluncuran Laporan Bank Dunia bertajuk "Realizing Indonesia's Urban Potential" di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (3/10).
Asumsi kerugian tersebut dihitung dari waktu perjalanan dan konsumsi bahan bakar di 28 wilayah perkotaan. Sedangkan untuk daerah Jakarta saja, Bank Dunia memperkirakan total kerugian akibat kemacetan mencapai US$2,6 miliar atau setara dengan Rp 36 Triliun.
(Baca: Bank Dunia Ungkap Penyebab Indonesia Belum Naik Kelas)
Mark menjelaskan prasarana yang ada tidak memadai untuk menghubungkan wilayah pinggiran ke pusat kota. Ini karena kurangnya investasi untuk pembangunan infrastruktur transportasi. Ia menulai jaringan jalan dan kereta api Indonesia tak seluas di negara-negara lain.
Dalam beberapa dekade terakhir, Tiongkok telah membangun jaringan tol sepanjang 96.000 kilometer yang menghubungkan kota-kota terbesar di negara tersebut dan sedang membangun jaringan kereta api kecepatan tinggi terpanjkang di dunia. India juga telah membangun jaringan jalan tol Golden Quadrilateral sepanjang hampir 6.000 kilometer untuk menghubungkan Delhi, Kolkata, Mumbai dan Chennai.
Di sisi lain, biaya pengiriman kontainer di Indonesia juga masih terbilang mahal. Biaya pengiriman kontainer 6-meter di Indonesia dari Tanjung Priok ke Jayapura, Banjarmasin, dan Padang masing-masing US$1000, US$650, dan US$600. Biaya ini lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya pengiriman dari Tanjung Priok ke Guangzhou, Tiongkok sebesar US$400.
Hal ini disebabkan integrasi transportasi laut yang tidak memadai sehingga mengakibatkan kinerja ynag rendah pada pelabuhan-pelabuhan yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia.
(Baca: Korupsi Penghambat Utama Investasi di Indonesia)
Kemacetan lalu-lintas tersebut pun menyebabkan polusi yang berdampaka pada kawasan-kawasan metro di Indonesia. Mark menyebutkan, 20 dari 28 kawasan metro multi-distrik dan metro distrik-tunggal mencapai tingkat polusi udara yang tidak aman pada tahun 2015.
Polusi udara di Jakarta pun lebih tinggi daripada Ho Chi Minh City, Kampala, Mexico CIty dan Sao Paulo. Kemudian, polusi udara Pekanbaru juga lebih tinggi daripada Mumbai dan Shanghai.
Tingkat polusi ini pun dikaitkan dengan sejumlah penyakit dan efek kesehatan lainnya. "Indonesia rugi 3,5% dari PDB nasional akibat kematian dini karena polusi ini," kata dia.
Di Jakarta sendiri, diperkirakan 60% penduduk menderita penyakit yang disebabkan polusi udara. Selain polusi udara, terdapat pula permasalahan air dan sanitasi di perkotaan yang merugikan negara hingga 2,3% terhadap PDB nasional.