Bayar Selisih Iuran PBI BPJS Kesehatan, Kemenkeu Tunggu Perpres Jokowi

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Suasana pelayanan BPJS Kesehatan di kawasan Matraman, Jakarta Timur (28/8). Presiden Jokowi dikatakan baru akan menandatangani perpres tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan setelah pembersihan data peserta PBI selesai.
13/9/2019, 06.00 WIB

Kementerian keuangan (Kemenkeu) mengaku masih  menunggu Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani peraturan presiden (Perpres) terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan.  Setelah Perpres diteken, pemerintah akan segera membayar selisih atas kenaikan iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan sesuai aturan itu.

Staf Ahli Bidang Kebijakan Pengeluaran Negara Kemenkeu Suminto menjelaskan, pemerintah saat ini telah membayarkan  iuran peserta PBI BPJS Kesehatan secara penuh seluruh tahun 2019. Hal ini seiring dengan percepatan pembayaran yang dilakukan pemerintah guna membantu arus kas lembaga asuransi negara itu.

Namun, iuran yang dibayarkan menggunakan tarif yang masih berlaku saat ini, yakni sebesar Rp 23 ribu untuk 96,8 juta peserta. 

"Sekarang usulan pemerintah, iuran PBI naik pada Agustus. Kalau disetujui Rp 42 ribu, selisihnya berarti Rp 19 ribu dikali 96,8 juta selama 5 bulan, dibayarkan kalau sudah ditetapkan Perpresnya," ujar Suminto saat ditemui di Gedung Ombudsman, Jakarta, Kamis (12/9).

Saat ini, menurut dia, pihaknya masih menunggu ketetapan dalam bentuk Perpres yang belum diteken Jokowi. Namun, ia belum mengetahui apakah bakal ada perubahan dari usulan awal Kemenkeu dalam Perpres tersebut nantinya. 

(Baca: Iuran BPJS Naik, Subsidi Kesehatan Orang Miskin Bertambah Jadi Rp 49 T)

Sementara terkait permintaan komisi IX dan XI DPR RI untuk melakukan data cleansing (pembersihan data) pada peserta PBI BPJS Kesehatan,  menurut dia, proses tersebut saat ini tengah berlangsung.  Adapun data cleansing  dilakukan agar seluruh peserta PBI benar-benar merupakan orang yang berhak menerima bantuan dari pemerintah. 

Saat ini, BPJS Kesehatan tengah bekerja bersama Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan. Namun, ia tak bisa memastikan kapan proses tersebut rampung.

"Komisi IX dan XI (DPR), mereka sebenarnya tidak mempersoalkan kenaikan iuran, kecuali peserta mandiri kelas 3. Kenaikan untuk kelas 3 silahkan setelah BPJS Kesehatan melakukan data cleansing dan ini sedang dalam proses penyelesaian," terang dia. 

Kementerian Keuangan sebelumnya mengusulkan besaran tarif kenaikan untuk peserta mandiri layanan kelas 3 dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu. Kemudian peserta mandiri layanan kelas 2 dari Rp 55 ribu menjadi Rp 110 ribu dan kelas 1 dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu. 

(Baca: Biang Defisit yang Membuat Iuran BPJS Kesehatan Naik)

Suminto  menjelaskan usulan kenaikan tersebut sudah memperhatikan kemampuan dari masyarakat.  Ia pun tak ambil pusing dengan penolakan sebagian masyarakat terkait rencana kenaikan iuran tersebut.

"Usulan kenaikan iuran itu dalam batas-batas kemampuan bayar masyarakat. Tapi kan ada abilty  (kemampuan) dan willingnes (keinginan). Tidak serta merta orang yang punya ability to pay  memiliki willingnes," ungkap dia. 

Menurut dia, masyarakat yang keberatan membayarkan iuran BPJS Kesehatan setelah kenaikan dapat menyesuaikan kelas layanan berdasarkan keinginan untuk membayar. Ia mencontohkan, peserta kelas 1 dapat menyesuaikan ke kelas 2 dan peserta kelas 2 dapat menyesuaikan ke kelas 3. 

"Walaupun dia punya kemampuan tapi merasa sayang saat membayar, kan bisa turun dari kelas 1 ke kelas 2 atau kelas 3. Kalau kelas 3 keberatan dan merasa tidak mampu bisa melapor ke Pemda untuk mendapat bantuan pemerintah, tapi tentu akan dilihat apa masuk kriteria," jelas dia. 

Catatan Redaksi: Judul dan isi berita ini telah mengalami perubahan dari sebelumnya 'Presiden Teken Perpres Kenaikan Iuran BPJS usai Pembersihan Data PBI' karena terdapat kesalahan redaksi.

Reporter: Agatha Olivia Victoria