Aturan BUT Dinilai Tak Bisa Menangkap Potensi Pajak Google

ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Dua orang membuka laman Google dan aplikasi Facebook melalui gawainya di Jakarta, Jumat (12/4/2019). Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Badan Usaha Tetap (BUT) untuk mengejar pemasukan pajak dari perusahaan asing yang berbasis di luar negeri namun bertransaksi dan memperoleh penghasilan di Indonesia termasuk perusahaan-perusahaan besar \'Over The Top\' (OTT) atau daring seperti Google, Facebook, Youtube dan lain-lain.
Penulis: Rizky Alika
12/4/2019, 17.54 WIB

Aturan Bentuk Usaha Tetap (BUT) dinilai belum bisa menangkap potensi penerimaan dari perusahaan Over The Top (OTT) seperti Google dan Facebook. Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan tidak ada aturan baru di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35 Tahun 2019 tentang penentuan BUT.

Menurutnya, PMK ini hanya menjelaskan sistematika aturan yang sudah ada. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memiliki peluang untuk bisa mengelola dan menyimpan data BUT, tapi tidak bisa menghitung berapa potensi penerimaan pajak dari badan usaha tersebut.

(Baca: Aturan Baru Badan Usaha Terbit, Google dan Facebook Wajib Punya NPWP)

Definisi BUT dalam aturan tersebut masih terpaku pada fixed business place atau bentuk usaha yang memiliki kehadiran fisik, seperti kantor atau kehadiran orang. Konsep tersebut sebenarnya berlaku secara internasional. Namun, difinisi ini tidak bisa menggambarkan perusahaan digital. 

“Untuk me-capture digital economy tidak bisa sepanjang definisi BUT seperti itu. Masih ada celah hukumnya,” kata dia kepada katadata.co.id, beberapa waktu yang lalu.

Menurut Prastowo, ada sejumlah OTT yang tidak berbentuk BUT, lantaran tidak menjalankan bisnis di kantor pusat atau merupakan entitas terpisah dari perusahaan tetap. Oleh karena itu, definisi BUT seharusnya mencakup bentuk usaha non fisik yang memberikan dampak ekonomi besar.

(Baca: Pembatalan Aturan Pajak E-Commerce)

Selain itu, keberadaan PMK 35/2019 hanya menegaskan ketentuan BUT dalam Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh). Sebab, ketentuan PMK tidak dapat melampaui UU. Adapun dalam UU PPh, definisi BUT diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu BUT fasilitas fisik (assets type), BUT aktivitas (activity type), BUT keagenan (agency type), dan BUT asuransi (insurance type).

Untuk meningkatkan potensi penerimaan dari perusahaan-perusahaan ini, Prastowo menyarankan pemerintah dan DPR merevisi UU PPh.

Ditjen Pajak Pastikan OTT Miliki NPWP

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memastikan perusahaan seperti Google dan Facebook telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). "Mereka sudah memiliki NPWP, entah sebagai BUT atau bentuk usaha lain, sesuai ketentuan," kata dia.

Oleh karena itu, penerbitan PMK Nomor 35 Tahun 2019 tentang Bentuk Usaha Tetap (BUT) tidak mengindikasikan banyaknya BUT yang belum memiliki NPWP. Namun dia mengakui masih terjadi perdebatan dalam menentukan keberadaan BUT dalam beberapa kasus.

Atas permasalahan tersebut, Kementerian Keuangan menerbitkan PMK tentang BUT. Selain itu, aturan ini juga bertujuan untuk meningkatkan kepastian hukum. "Aturan itu menegaskan dan menjelaskan lebih lanjut saja atas ketentuan yang sudah ada," ujarnya.