BI Nilai Pariwisata Jadi Kunci Penyehatan Neraca Transaksi Berjalan

ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Kawasan hunian untuk wisatawan yang berada di tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Sumatera Utara.
9/2/2019, 12.56 WIB

Bank Indonesia (BI) menilai salah satu kunci untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan adalah dengan mendorong sektor pariwisata. Direktur Eksekutif Kepala Departemen Statistik Yati Kurniati Yati Kurniati mengatakan sektor tersebut dapat menarik investor dan turis asing sehingga mendatangkan devisa dan berkontribusi positif bagi neraca transaksi berjalan.

"Pariwisata adalah quick win yang bisa kelihatan hasilnya," kata dia dalam Konferensi Pers di kantornya, Jakarta, Jumat (8/2).

Menurut dia, strategi pemerintah dengan mendorong 10 “Bali Baru” bisa mendukung pengembangan sektor pariwisata. Dorongan ini termasuk dengan peningkatan infrastruktur maupun sarana penunjang untuk pariwisata. Selain itu, peningkatan layanan penduduk di daerah wisata.

Adapun 10 destinasi wisata prioritas yang masuk dalam Bali Baru, yaitu Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Borobudur, Bromo Tengger Semeru, Mandalika, Labuan Bajo, Morotai, dan Wakatobi.

(Baca: Disiapkan jadi Wisata Sejarah, Jokowi Akan Revitalisasi Benteng Pendem)

Berdasarkan catatan BI, sektor pariwisata menyumbang devisa sebesar US$ 14,11 miliar sepanjang 2018. Devisa ini tercatat dalam neraca transaksi berjalan sebagai ekspor perjalanan. Adapun jumlah sumbangan devisa terus meningkat. Pada 2017, sumbangannya tercatat sebesar US$ 13,1 miliar, sebelumnya pada 2016 sebesar US$ 11,2 miliar, dan 2015 sebesar US$ 10,76 miliar.

Selain pariwisata, Yati mengatakan perlunya peningkatan sektor manufaktur untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan. "Sekarang juga masih proses penentuan prioritas manufaktur," ujarnya. Menurut dia, salah satu sektor manufaktur yang tengah dipertimbangkan ialah otomotif.

(Baca: Defisit Transaksi Berjalan Kuartal IV US$ 9,1 M, Terburuk Sejak 2013)

BI mencatat defisit transaksi berjalan mencapai US$ 31,1 miliar atau 2,98% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2018. Realisasi tersebut nyaris dua kali lipat defisit pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp 16,2 miliar atau 1,6% terhadap PDB. Defisit yang melebar menunjukkan membesarnya jurang antara kebutuhan dan pasokan valuta asing (valas) dalam kegiatan ekspor-impor barang dan jasa.

Defisit transaksi berjalan terjadi lantaran tingginya impor nonmigas, yaitu mencapai US$ 149,9 miliar. Di sisi lain, ekspor nonmigas terbatas yaitu sebesar US$ 161,1 miliar. Alhasil, surplus neraca nonmigas hanya sebesar US$ 11 miliar, kurang dari separuh tahun sebelumnya.

(Baca: Neraca Pembayaran Defisit US$ 7,1 M Tahun Lalu, Mendekati Defisit 2013)

Kecilnya surplus pada neraca nonmigas tak mampu menutup defisit pada neraca migas yang mencapai US$ 11,6 miliar. Peningkatan defisit neraca migas didorong oleh naiknya impor minyak seiring peningkatan rerata harga minyak dunia dan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) domestik. Impor migas mencapai US$ 29,2 miliar, sementara ekspor migas hanya sebesar US$ 17,6 miliar.

Selain itu, transaksi berjalan dibebani oleh defisit besar yang menahun pada neraca jasa dan pendapatan primer. Neraca jasa tercatat defisit US$ 7,1 miliar dan neraca pendapatan primer defisit US$ 30,4 miliar.