Nilai tukar rupiah stabil di kisaran 14.400 per dolar dolar Amerika Serikat (AS) meskipun Bank Indonesia (BI) tidak mengikuti langkah bank sentral AS mengerek bunga acuan pada Kamis (20/12). Ekonom menilai stabilnya rupiah lantaran tidak banyaknya isu negatif yang memengaruhi pasar keuangan global.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menjelaskan pergerakan rupiah sebenarnya memang lebih dipengaruhi oleh sentimen di pasar global, sedangkan kondisi domestik lebih bersifat memperkuat saja.

“Saat ini kondisi global sedang relatif tidak banyak isu negatif yang memungkinkan investor asing mengalihkan investasinya,” kata dia kepada katadata.co.id, Jumat (21/12).

(Baca juga: Risiko The Fed Turun, Gubernur BI Sebut Positif untuk Kurs Rupiah)

Ia menjelaskan, perang dagang AS-Tiongkok sedikit mereda dengan dihentikannya sementara perang tarif serta dimulainya negosiasi dua negara. Sementara itu, Gubernur bank sentral AS Jerome Powell juga memberikan sinyal kenaikan bunga acuan AS tidak seagresif tahun ini.

“Saya kira ini menenangkan pasar. Jadi investor saat masih wait n see,” kata dia.

Saat berita ini ditulis, nilai tukar rupiah berada di posisi Rp 14.486 per dolar AS, melemah tipis 0,1% dibandingkan penutupan sehari sebelumnya. Pelemahan ringan juga dialami sebagian mata uang Asia lainnya. Rupee India melemah 0,31%, yuan Tiongkok dan yen Jepang 0,12%, baht Thailand 0,11%, ringgit Malaysia 0,05%.

(Baca juga: Banyak Dana Asing Masuk, BI Ramal Neraca Pembayaran Kuartal IV Surplus)

Di sisi lain, won Korea Selatan mengalami penguatan sebesar 0,44%, begitu juga dengan peso Filipina terapresiasi 0,26%, dolar Taiwan 0,22%, dolar Singapura 0,12%, dan dolar Hong Kong 0,06%. Pergerakan yang relatif stabil di Asia seiring dengan indeks dolar AS yang turun, setelah sempat menembus level 97 menjelang dan saat kenaikan bunga acuan AS.

Dengan perkembangan sekarang ini, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah pun melihat adanya ruang penguatan nilai tukar rupiah kembali ke posisi awal tahun 2018. Ini artinya, ke kisaran Rp 13.500 per dolar AS.

Menurut dia, ada beberapa faktor yang bisa mendukung penguatan nilai tukar rupiah ke depan. Pertama, ketidakpastian global yang berkurang di 2019. Negosiasi perang dagang diperkirakan akan mencapai kesepakatannya pada Februari 2019. Sementara itu, kesepakatan Brexit Inggris diperkirakan selesai pada Maret.

(Baca juga: Risiko Volatilitas Tinggi di Pasar Keuangan pada Paruh Pertama 2019)

Dari sisi domestik, ia mengatakan Indonesia sudah melewati berbagai fase pelemahan rupiah, bahkan hingga menembus Rp 15.000 per dolar AS. Indonesia juga dinilai memiliki struktur ekonomi yang lebih baik dibandingkan 1998.

Selain itu, kerangka kebijakan moneter dan fiskal sudah lebih kuat. Di sisi lain, kondisi perbankan juga lebih baik dibandingkan sebelumnya. "Hemat kami, kita udah melewati level-level itu. Kalau lewat level itu, orang sudah terbiasa," ujarnya.

Reporter: Rizky Alika