Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri swasta tumbuh semakin cepat. Pertumbuhannya dua sampai tiga kali lipat pertumbuhan utang luar negeri pemerintah. Seiring kondisi tersebut, jumlah utang luar negeri milik swasta membengkak hingga kembali melampaui milik pemerintah.
Per akhir Oktober lalu, utang luar negeri swasta, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tercatat sebesar US$ 182,2 miliar atau setara Rp 2.639 triliun, tumbuh 7,7% secara tahunan. Pertumbuhan ini lebih tinggi dari September yang sebesar 6,7% secara tahunan.
Sementara itu, utang luar negeri pemerintah tercatat sebesar US$ 175,4 miliar atau sekitar US$ 2.540 triliun, tumbuh 3,3% secara tahunan. Pertumbuhan ini lebih cepat dibandingkan September yang sebesar 2,2% secara tahunan, namun jauh lebih lambat dari utang luar negeri swasta.
(Baca juga: Pembiayaan Usaha Bepotensi Naik, BI Harap Bukan dari Utang Luar Negeri)
BI mencatat pertumbuhan cepat sektor swasta per Oktober lalu didorong oleh penarikan utang di sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas (LGA). Secara keseluruhan, utang luar negeri swasta mayoritas dimiliki sektor jasa keuangan dan asuransi, industri pengolahan, sektor LGA, serta sektor pertambangan dan penggalian. Pangsa utang luar negeri di keempat sektor tersebut mencapai 72,9% terhadap total utang luar negeri swasta.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menjelaskan, bagi pengusaha yang memiliki akses, berutang ke luar negeri memang menguntungkan. Nilai tukar dolar AS terhadap rupiah yang kuat serta suku bunga yang rendah menjadi daya tarik utama utang luar negeri.
Ditambah lagi, ada kondisi likuiditas ketat di perbankan bahkan di sektor keuangan Indonesia yang membuat pengusaha tidak mudah mendapatkan utang. Maka itu, wajar utang luar negeri terus membesar dari tahun ke tahun.
Ia menilai perkembangan utang luar negeri swasta belum terlalu mengkhawatirkan selama masih dalam pengawasan dan benar-benar digunakan sepenuhnya untuk kegiatan produktif. “Tapi kalau dibiarkan terus menerus tumbuh dengan cepat seperti ini akan menambah kerentanan perekonomian kita,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Selasa (17/12).
(Baca juga: Lonjakan Utang Luar Negeri Swasta dalam Pengawasan Bank Sentral)
Menurut dia, hal ini perlu menjadi catatan besar bagi pemerintah dan BI, yaitu bagaimana mengerem laju pertumbuhan utang luar negeri swasta tersebut. Pemerintah dan BI harus bisa mengurangi insentif bagi swasta untuk berutang ke luar negeri. Ada beberapa caranya, namun belum bisa dilakukan sekarang.
Pertama, menurunkan suku bunga dan memperkuat nilai tukar rupiah. “Sayangnya solusi ini tidak mudah bahkan mustahil dilakukan saat ini ketika suku bunga justru cenderung naik,” ujarnya.
Kedua, memperlonggar likuiditas perbankan. Cara ini juga sulit karena dana masyarakat atau dana perbankan justru diperebutkan oleh swasta dan pemerintah atau lazim disebut crowding out. “Belum lagi BI yang juga menyedot dana perbankan lewat instrumen moneter,” kata dia.
Maka itu, dalam kondisi seperti sekarang ini, yang bisa dilakukan adalah pengawasan, termasuk memastikan perusahaan melakukan lindung nilai (hedging) atas utang luar negerinya. “Itu salah satu cara untuk mengurangi risiko nilai tukar seiring kenaikan utang luar negeri swasta,” ujarnya.