Sri Mulyani Soroti Belanja Modal Pemda yang Minim

Arief Kamaludin|KATADATA
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Penulis: Michael Reily
11/12/2018, 10.51 WIB

Kementerian Keuangan menyoroti rata-rata belanja modal Pemerintah Daerah (Pemda) yang hanya mencapai 19%. Hal ini disebabkan Pemda masih mengutamakan anggaran belanja pegawai dibandingkan dengan alokasi untuk belanja infrastruktur.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan per Juli 2018, dari anggaran belanja daerah sebesar Rp 1.153 triliun, sekitar 36% atau Rp 410,6 triliun dialokasikan untuk belanja pegawai. Belanja barang dan jasa sebesar Rp 270,6 triliun atau 23% sedangkan belanja modal hanya sebesar Rp 223,6 triliun atau 19% dari total belanja Pemda.

"Terlalu besar gaji di daerah," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sosialisasi Transfer Dana ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) 2019, di Jakarta, Senin (10/12). Oleh karena itu, dia meminta pejabat di daerah untuk mengoptimalkan anggaran TKDD dalam APBD 2019.

Sri Mulyani menekankan, minimal 25% dana transfer umum dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk belanja infrastruktur. "Dalam kenyataannya, banyak daerah yang belum mencapainya," kata dia. Pembangunan infrastruktur bukan hanya untuk mendukung pembangunan fisik tetapi juga untuk pembangunan sosial dan pendidikan.

(Baca: Mendes Targetkan Penyerapan Dana Desa Mendekati 100% Tahun Ini)

Ia juga meminta Pemda untuk menggunakan alokasi pendanaan di daerah untuk pemerataan ekonomi. Alokasi untuk belanja barang dan jasa dalam porsi 23% juga harus lebih tepat. Ia menduga banyak pejabat di daerah menggunakan dana belanja barang dan jasa untuk perjalanan dinas ke pusat atau daerah lain.

Ia menyebutkan, ada rombongan pejabat di daerah yang datang ke Kementerian Keuangan hingga 46 kali dalam setahun. Ongkos itu digunakan supaya mendapat surat pertanggungjawaban (SPJ). "Seharusnya bisa dipakai untuk bangun jembatan, perbaikan pasar, penyediaan air bersih yang sangat berguna bagi masyarakat," kata Sri Mulyani.

Pemda disarankan menggunakan electronic government (e-government) untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik. Pasalnya, baru 18% daerah yang menggunakan sistem digital untuk tata kelola yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas tersebut.

Pembangunan sistem digital juga tak mahal sehingga aplikasi bisa terhubungan antara masyarakat dan Pemda. Alhasil, masyarakat bisa melakukan penilaian dan pengawasan terhadap kinerja pemerintah di daerah.

Sri Mulyani menyebutkan, ada 11 kepala daerah yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tidak memiliki transparansi dan akuntabilitas. "Saya berharap pengawasan makin kuat dan efektif agar sumber daya dapat digunakan betul-betul untuk kesejahteraan masyarakat," ujarnya.

(Baca: Realisasi Penerimaan Nyaris Setara Belanja, Defisit APBN Rendah 1,95%)

Efektivitas Penggunaan Anggaran

Efektivitas penggunaan APBD semakin menjadi sorotan sejak era Otonomi Daerah bergulir. Katadata Insight Center (KIC) pada 28 November lalu merilis Indeks Kelola yang mengukur efektivitas penggunaan APBD oleh 508 Pemda di Indonesia. Ada tiga komponen yang menjadi acuan bagi KIC, yaitu administratif, kuantitatif, dan kualitatif. 

Komponen administratif meliputi opini minimal Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas hasil audit APBD oleh BPK, kuantitatif dengan melihat anggaran antar daerah serta output yang dihasilkan, sedangkan aspek kualitatif meliputi inovasi dan terobosan kebijakan.

Dari hasil riset tersebut, ada 66 Pemda yang  paling efektif dalam mengelola anggarannya. Contohnya, Kabupaten Subang yang memenangkan kategori Ketepatan Alokasi APBD Bidang Pendidikan. Kemudian, Kabupaten Jayapura yang memenangkan kategori Pembangunan Bidang Pendidikan. 

"Indeks kelola memberi insentif kepada Pemda untuk meningkatkan efektivitas anggaran dan programnya untuk mencapai hasil (outcome) di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan kesejahteraan,” kata Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Univeritas Gadjah Mada (UGM) Gumilang Aryo Sahadewo di Jakarta, Rabu (28/11).

Indeks kelola merupakan hasil kerja sama KIC dengan Jari Ungu dan para ahli ekonomi independen. Tim ahli yang terdiri dari Kepala Pokja Pemantauan dan Evaluasi Tim Nasonal Percepatan Pemberantasan Kemiskinan (TNP2K) Dr. Elan Satriawan, M.Ec, Dosen FEB UGM Dr. Rimawan Pradiptyo, M. Sc, dan Dr. Gumilang Aryo Sahadewo, M.A.

Reporter: Michael Reily