Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami tren penguatan sejak akhir Oktober lalu. Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengingatkan perlunya kewaspadaan agar nilai tukar rupiah tidak menguat ataupun melemah terlalu cepat.

"Nanti ganggu sektor riil, jadi confident pelaku bisnis bisa terganggu. Rupiah menguat atau melemah cepat itu tidak baik," kata David kepada Katadata.co.id, Rabu (7/11).

Saat berita ini ditulis, nilai tukar rupiah berada di level 14.647 per dolar AS. Ini artinya, rupiah telah menguat 3,8% atau sebesar Rp 557 sejak akhir Oktober. Level ini merupakan yang terkuat dalam lebih dari dua bulan belakangan.

Meski begitu, ia menilai penguatan nilai tukar rupiah saat ini masih terkendali lantaran berkisar 0,5-1% dalam sehari. Menurut dia, penguatan cepat perlu dikhawatirkan bila berkisar 3-4% dalam dua atau tiga hari. "Atau seminggu lebih dari 5%," ujarnya.

(Baca juga: Lima Sebab Menguatnya Kurs Rupiah dalam Waktu Cepat)

Ia menjelaskan, pelemahan maupun penguatan cepat rupiah akan membuat importir maupun eksportir kesulitan menentukan harga jual. Alhasil, pelaku usaha tersebut bakal cenderung wait and see untuk menunggu arah stabilisasi rupiah. Pergerakan cepat kurs rupiah juga bisa mengganggu penyediaan bahan baku yang diperoleh dari impor.

Di sisi lain, pergerakan cepat nilai tukar rupiah justru menjadi peluang bagi investor pasar modal. "Mereka lebih suka volatilitas tinggi karena dapat profit," kata dia.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani juga mengatakan bahwa volatilitas nilai tukar menjadi masalah bagi importir dan eksportir. "Volatilitas bisa memengaruhi komitmen kontrak dalam mata uang dolar Amerika," ujar dia.

Namun, untuk saat ini, penguatan mata uang Garuda dinilai belum memengaruhi kegiatan bisnis lantaran penguatan baru saja terjadi. Apalagi, tidak ada jaminan rupiah akan menguat dalam jangka panjang. "Dampaknya belum bisa dirasakan kecuali main trading valas," kata dia.