Pemerintah Evaluasi Dampak B20 Terhadap Defisit Transaksi Berjalan

Arief Kamaludin | Katadata
Mandatori B20 diharapkan menekan defisit transaksi berjalan.
Editor: Yuliawati
1/11/2018, 08.23 WIB

Pemerintah mengevaluasi atau melakukan review atas dampak kebijakan pencampuran biodiesel 20% atau B20 dalam menekan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Kebijakan mandatori penggunaan biodiesel 20% diterapkan sejak awal September 2018 dengan tujuan menekan penggunaan solar impor dan diharapkan mampu menekan defisit transaksi berjalan.

"(Evaluasi) bagaimana memperkuat current account untuk jangka pendek menengah," kata Kepala Bappenas Bambang Beodjonegoro, usai menghadiri rapat lintas kementerian di Istana Negara, Rabu (31/10).

(Lihat infografik: Defisit Transaksi Berjalan Indonesia Terbesar di ASEAN)

Bambang mengatakan dalam pertemuan di istana, selain mengevaluasi kebijakan B20 juga menyoroti soal penerapan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). "Sebagian kebijakan menekan defisit sudah berjalan baik, namun ada pula yang belum berjalan seharusnya," kata dia.

Dirut Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir mengatakan B20 telah digunakan untuk sebagian pembangkit listrik. "PLTG gas murni mesin jet itu tidak bisa (menggunakan B20), mesin gas biasa yang bisa kami ubah ke B20," kata Sofyan.

Dia menaksir penggunaan B20 di pembangkit listrik mencapai 1.000 megawatt. "Untuk (pembangkit) yang kecil-kecil di Sumatera dan Kalimantan," kata Sofyan.

(Baca juga: Defisit Transaksi Berjalan Kuartal III Tinggi, BI: Tidak Melebihi 3,5%)

Menurut laporan neraca pembayaran Bank Indonesia, sektor minyak dan gas bumi (migas) membukukan defisit sebesar US$ 4,4 miliar. Sektor migas salah satu penyumbang defisit neraca perdagangan terbesar, di luar pendapatan investasi yang mencatatkan defisit sebesar US$ 7,8 miliar dan defisit transaksi jasa, khususnya pada sektor transportasi mencapai US$ 1,9 miliar.

BI memperkirakan kebijakan B20 mampu mengurangi impor minyak mentah hingga US$ 2,2 miliar. Perkiraannya B20 bakal menekan defisit transaksi berjalan menjadi 2,5% terhadap Produk Domestik Bruto alias PDB.

Nilai transaksi berjalan Indonesia yang mengalami defisit menjadi salah satu penyebab melemahnya nilai tukar rupiah. Pada triwulan II 2018, defisit transaksi berjalan Indonesia sebesar US$ 8,03 miliar atau sekitar 3,04% terhadap PDB.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan defisit transaksi berjalan pada kuartal III 2018 lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Penyebabnya, tingginya defisit perdagangan migas pada Juli dan Agustus.

Namun, defisit transaksi berjalan akan mengecil di kuartal IV sehingga untuk keseluruhan 2018 defisitnya kurang dari 3% terhadap PDB. Defisit diperkirakan mereda menjadi 2,5% terhadap PDB pada 2019 mendatang.

Menurut dia, penurunan defisit pada kuartal IV seiring dengan kebijakan pengendalian imor yang dilakukan pemerintah seperti kewajiban B20, kenaikan tarif impor 1.147 barang konsumsi, dan penundaan proyek infrastruktur. Indikasi penurunan sudah terlihat dari surplus neraca perdagangan barang pada September lalu.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan barang surplus sebesar US$ 230 juta pada September. Surplus tersebut antara lain diakibatkan oleh menurunnya nilai impor pada sektor migas dan nonmigas. Sebelumnya, defisit tercatat sebesar US$ 1,02 miliar sementara pada Juli sebesar US$ 2,03 miliar. Defisit Juli tersebut merupakan yang terdalam sejak Juli 2013.

 
Reporter: Ameidyo Daud Nasution