Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75% dalam rapat bulanan pada 22-23 Oktober. Keputusan tersebut diharapkan dapat memperkuat ketahanan eksternal Indonesia di tengah kondisi global yang tidak pasti. Ketahanan eksternal yang dimaksud terkait dengan neraca pembayaran Indonesia.

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) menunjukkan transaksi antara penduduk Indonesia dan penduduk negara lain dalam jangka waktu tertentu. NPI tercatat mengalami defisit US$ 4,3 miliar pada kuartal II lalu. Adapun, defisit NPI menggambarkan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan valas di dalam negeri yang membuat kurs rupiah tertekan.

Defisit NPI tersebut seiring dengan melebarnya defisit transaksi berjalan (perdagangan barang dan jasa) yaitu mencapai US$ 8 miliar atau 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit yang melebar tersebut tak mampu ditambal surplus transaksi modal dan finansial yang hanya mencapai US$ 4 miliar. 

“Keputusan tersebut (bunga acuan tetap) konsisten dengan upaya untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman dan mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik sehingga bisa semakin memperkuat ketahanan eksternal Indonesia,” kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara dalam Konferensi Pers di Gedung BI, Jakarta, Selasa (23/10).

(Baca juga: Siklus Musiman, Defisit Transaksi Berjalan Kuartal III Diramal Turun)

Ke depan, Mirza menjelaskan kebijakan bunga acuan akan terus diarahkan untuk menjaga neraca pembayaran. Maka itu, dalam menentukan kebijakan bunga acuan, BI terus memantau perkembangan defisit transaksi berjalan, selain memantau bunga acuan AS yang dalam tren kenaikan hingga 2020 dan bunga acuan negara tetangga.

Dalam meredam defisit transaksi berjaan, ia menjelaskan, pihaknya juga akan terus berkoordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait. Harapannya, defisit transaksi berjalan bisa turun ke kisaran 2,5% terhadap PDB pada 2019 mendatang, lewat kebijakan menggenjot ekspor dan menurunkan impor.

Kebijakan BI tersebut sesuai prediksi para ekonom. Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam berpendapat BI tidak memiliki alasan yang kuat untuk mengerek bunga acuan pada Oktober ini. "Inflasi masih cukup rendah dan terkendali. Rupiah memang dalam tren melemah tapi juga masih terkontrol," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (22/10).

Selain itu, ia menilai BI baru menaikkan bunga acuan pada September lalu, mengikuti langkah bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) yang menaikkan bunga acuannya. Sementara itu, bunga acuan AS masih dalam tren kenaikan, potensi kenaikan yang terdekat pada Desember mendatang. Apabila BI mengerek bunga acuan pada Oktober ini, ruang kenaikan bunga acuan akan berkurang.

Ia pun menekankan, kenaikan bunga acuan bukan solusi terhadap pelemahan rupiah saat ini. "Tapi kenaikan suku bunga bisa membantu mengurangi tekanan terhadap rupiah, khususnya pada saat The Fed menaikkan bunga acuan," ujarnya. Maka itu, ia menilai kenaikan pada Oktober bukan waktu yang tepat.

Setali tiga uang, Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga memproyeksikan bunga acuan BI tetap. Salah satu alasannya, inflasi yang rendah. "Inflasi inti dan inflasi headline cenderung rendah setelah dalam 2 bulan berturut-turut mencatatkan deflasi," ujar dia.

Selain itu, volatilitas kurs rupiah dinilai cenderung menurun dalam sepekan terakir dibandingkan pada bulan September. Penurunan volatilitas rupiah tersebut seiring dengan masuknya dana asing ke pasar keuangan, meskipun secara akumulatif, sepanjang Oktober, investor asing masih membukukan penjualan bersih (net sell) di pasar saham dan pasar obligasi.

Pada pekan ketiga Oktober, investor asing membukukan aksi beli bersih (net buy) sebesar US$ 80 juta pada saham. Di sisi lain, kepemilikan asing pada Surat Utang Negara (SUN) bertambah Rp 1,79 triliun pada periode yang sama. Sementara itu, sepanjang Oktober, investor asing di pasar saham masih membukukan net sell sebesar US$ 350 juta dan kepemilikan asing pada SUN menurun US$ 48 juta.

Ia memprediksi kenaikan bunga acuan BI pada Nomvember mendatang untuk mengantisipasi kenaikan lanjutan bunga acuan AS. Hal itu juga sejalan dengan fokus yaitu menekan defisit transaksi berjalan.