Pemerintah tengah mengkaji penghapusan pajak rumah mewah, yaitu Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22. Tujuannya, menggeliatkan kembali pasar properti mewah untuk memacu perekonomian. Rencana tersebut menuai pro dan kontra.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mendukung rencana tersebut karena bakal menghasilkan efek berganda (multiplier effect) yang positif bagi perekonomian. Efek berganda tersebut lantaran terdapat 130 subsektor yang tertopang oleh sektor properti. "Di negara mana pun kalau properti bergerak, ekonomi bergerak," kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (19/10).

(Baca juga: Pemerintah Kaji Penghapusan PPnBM dan PPh 22 Rumah Mewah)

Dengan kebijakan tersebut, kontribusi sektor properti terhadap perekonomian juga diharapkan semakin besar. Sekarang ini, kontribusinya hanya mencapai 12% terhadap Produk Domestik Buto (PDB), sedangkan di Malaysia mencapai 20%. Kontribusi sektor properti pernah mencapai 20% sebelum krisis 1997.

Penurunan kontribusi sektor properti dinilai David terjadi lantaran kelebihan pasokan (over supply) pada beberapa segmen, seperti segmen perkantoran, apartemen, hotel, hingga segmen bawah seperti rumah tapak dengan luas di bawah 700 meter persegi. Kondisi ini memengaruhi keuntungan di sektor ini. "Sejak booming (harga) komoditas sampai 3-4 tahun terakhir (sektor properti) lesu," ujarnya.

(Baca juga: Survei BI: Kenaikan Harga Hunian Melambat)

Ia pun melihat peluang membesarnya kontribusi sektor properti dengan adanya penghapusan PPnBM dan PPh Pasal 22. Menurut dia, bukan hanya pasar rumah pertama yang bakal bergairah, tapi juga rumah bekas. Kebijakan ini juga bisa membuat investasi properti mewah di dalam negeri berdaya saing terhadap negara lain.

Ditambahkannya, bila kebijakan ini mengakibatkan laju pertumbuhan sektor properti terlalu kencang, pemerintah dapat kembali menggunakan instrumen perpajakan buat mengendalikan pertumbuhannya.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai rencana penghapusan pajak tersebut tidak pas. "Kalau dihapus tujuan perpajakan tidak tercapai," ujarnya. "Tujuan PPnBM kan memenuhi rasa keadilan dengan masyarakat berpenghasilan rendah, selain mengatur konsumsi."

Ia pun mengusulkan dua opsi kebijakan yang dinilainya lebih pas guna mendorong perputaran pasar rumah mewah. Pertama, menaikkan batasan (threshold) rumah mewah yang terkena PPnBM. Kedua, menurunkan tarif PPnBM dengan membuat skema tarif yang progresif.

Adapun saat ini, ketentuan mengenai PPnBM properti mewah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35/PMK.03/2017. Tarif PPnBM ditetapkan sebesar 20% dari nilai jual. Pajak ini berlaku untuk rumah dan town house dari jenis nonstrata title dengan harga jual sebesar Rp 20 miliar atau lebih. Selain itu, apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title, dan sejenisnya dengan harga jual sebesar Rp 10 miliar atau lebih.

Sementara itu, ketentuan mengenai PPh 22 untuk properti mewah diatur dalam PMK No.90/PMK.03/2015 yang merupakan perubahan dari PMK No.253/PMK.03/2008. Tarif pajak yang dikenakan adalah 5% bagi rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 5 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi. Selain itu, apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 5 miliar atau luas bangunan lebih dari 150 meter persegi.