Pemerintah dan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beda pendapat soal kenaikan subsidi solar. Pemerintah berkeras kenaikan bisa dilakukan tanpa mekanisme revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun Komisi Energi menyatakan sebaliknya. Di tengah beda pendapat tersebut, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menyarankan agar pemerintah ikut arahan DPR.
Tony sepakat dengan Komisi Energi bahwa penambahan subisdi solar tanpa mekanisme revisi APBN berpotensi melanggar Undang-Undang APBN. "Apalagi, asumsi harga minyak dalam APBN hanya sebesar US$ 48 per barel atau berbeda jauh dengan realisasi harga minyak dunia.” Kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (8/10). Kondisi tersebut memperkuat alasan perlunya revisi APBN.
Sebelumnya, pemerintah lewat Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 40 Tahun 2018 telah menetapkan penambahan subsidi solar dari Rp 500 per liter menjadi Rp 2.000 per liter. Tambahan subsidi berlaku surut sejak 1 Januari 2018. (Baca juga: DPR: Penambahan Subsidi Solar tanpa APBNP Berpotensi Langgar UU)
Penambahan subsidi ini sebetulnya sudah disampaikan pemerintah melalui surat ke Komisi Energi, namun Ketua Komisi Energi Gus Irawan Pasaribu menegaskan mekanismenya harus melalui revisi APBN. "Saya khawatir saja, kecenderungan sekarang tabrak sana tabrak sini. Apakah itu dijalankan. Kalau dijalankan itu melanggar UU APBN. Mekanismenya harusnya APBNP," kata dia, beberapa waktu lalu.
Sejauh ini, pemerintah tetap teguh pendirian bahwa tidak ada revisi APBN. “Tidak ada yang melanggar undang-undang,” kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani kepada Katadata.co.id, pekan ini. (Baca juga: Pemerintah Siapkan Tambahan Subsidi Solar meski Tak Ada APBNP)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sendiri sempat menjelaskan, pihaknya tidak mengajukan revisi APBN lantaran jumlah penerimaan dan belanja tidak banyak berubah, defisit anggaran juga terjaga rendah. Secara khusus, Kementerian Keuangan sempat menyatakan kebutuhan dana untuk penambahan subsidi energi bisa ditambal oleh pendapatan dari sektor migas imbas kenaikan harga minyak dunia dan pergeseran dari pos belanja lainnya. (Baca juga: Belanja Subsidi Energi Bengkak, Pemerintah Hemat Pos Belanja Lain-Lain)
Adapun pemerintah memang membidik agar tidak ada revisi APBN di tahun politik. Tampanya, untuk menghindari kegaduhan. Maka itu, APBN disiapkan sedemikian rupa sehingga memiliki elastisitas. Hal itu di antaranya tercermin dari defisit anggaran yang rendah yaitu hanya 2,19% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah batas yang diatur Undang-Undang Keuangan Negara yaitu 3% terhadap PDB. Seiring perubahan asumsi makro, pemerintah bahkan memprediksi defisit anggaran bisa lebih rendah yakni 2,12% terhadap PDB.