Dinamika perekonomian domestik saat ini tak bisa disamakan dengan era 1998. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terjadi sekarang memiliki konteks yang berbeda dibandingkan dengan 20 tahun lalu.
Hal itu dikemukakan Direktur Strategi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat di dalam pengarahan terbatas kepada sejumlah awak media. Perbincangan ini bertajuk Benarkah Krisis 1998 Berulang?.
Menurutnya, sebelum krisis moneter pada 1998 pemerintah tidak membiarkan rupiah melemah di hadapan dolar AS. Pada awalnya, Indonesia menganut sistem kurs tetap sehingga Bank Indonesia (BI) mempertahankan posisi nilai tukar rupiah di level Rp 2.000 - Rp 2.500 per dolar AS. Strategi ini merontokkan cadangan devisa negara.
"Pada 1998 itu internal kita ceroboh. (Pemerintah) tidak jelaskan kepada masyarakat bahwa rupiah tidak bisa terus menguat," kata Budi, di Jakarta, Kamis (6/9).
(Lihat infografik: Beda Gejolak Ekonomi Tiga Dekade)
Setelah menggunakan kurs mengambang barulah nilai tukar rupiah mulai dinamis. Sistem nilai tukar yang ada sekarang memposisikan mata uang domestik mengambang terhadap nilai valas. Dengan kata lain, pergerakan kurs rupiah menyesuaikan diri kepada dinamika pasar.
Budi menyatakan, sistem yang ada saat ini membuat cadangan devisa lebih terjaga. Kalangan perbankan juga berhati-hati dalam menyalurkan kredit karena diawasi Otoritas Jasa Keuangan. Plus, posisi utang dijaga pemerintah kurang dari 3% terhadap Produk Domestik Bruto.
(Baca juga: Ekonom: Cadangan Devisa Terus Menyusut Sampai Pengujung 2018)
Menurutnya, untuk membahas depresiasi rupiah yang mendekati Rp 15.000 per dolar AS belakangan ini harus melihat sisi eksternal dan internal. Faktor internal yang turut memengaruhi pergerakan mata uang Garuda, salah satunya musim pembayaran dividen pada triwulan II/2018.
Hal lain yang berpengaruh adalah defisit neraca dagang dan defisit transaksi berjalan. Budi berpendapat, kondisi makroekonomi ini mencerminkan Indonesia kurang produktif dan kompetitif dalam mengembangkan pasar ekspor. (Baca juga: BI: B20 Bantu Perbaiki Defisit Transaksi Berjalan)
Adapun, dari sisi eksternal perlu dicermati sentimen investor menyusul pelemahan ekonomi di Argentina, Turki, dan Brasil. "Namun, depresiasi ini sudah diobati oleh BI dengan mengerek bunga acuan 125 basis poin," kata Budi. (Baca juga: Perang Dagang hingga Krisis Argentina Menekan Rupiah Mendekati 14.900)
Apabila membandingkan kondisi saat ini dengan era 1998 maupun 2008 terlihat bahwa fundamental ekonomi nasional yang ada sekarang berbeda. Beberapa indikator perekonomian menunjukkan performa aman meski tetap perlu diwaspadai.
Kondisi inflasi per Agustus tahun ini terkendali di angka 3,2%, jauh di bawah inflasi saat krisis 1998 yang mencapai 82,4% maupun krisis 2008 sebesar 12,1%. Nilai depresiasi rupiah saat ini 9,3% juga di bawah kondisi 1998 yang mencapai 197% serta2018 sebesar 35%. Data lain seperti suku bunga acuan BI, rasio utang pemerintah terhadap PDB, cadangan devisa, maupun risiko investasi juga relatif terkendali.
Budi berpendapat bahwa selanjutnya pemerintah harus memperkuat cadangan devisa. Hal ini bermaksud mencegah kejatuhan rupiah yang lebih dalam. Menurut Budi, masyarakat dapat berkontribusi dengan mengurangi konsumsi barang-barang impor.
"Jangan konsumtif, kurangi beli barang-barang impor. Kita ini cinta sekali dolar, suka ikut tren beli gadget terbaru. Kurangi juga ke luar negeri," katanya. (Baca juga: 2019, Industri Pariwisata Dibidik Hasilkan Devisa US$ 20 Miliar)
Masyarakat dinilai masih berpemahaman bahwa kurs rupiah yang menguat itu lebih baik. Padahal, untuk mengembalikan posisi nilai tukar maka BI harus menggelontorkan cadangan devisa dalam jumlah besar.