Rupiah kembali melemah dan berada di kisaran Rp 14.100 per dolar Amerika Serikat (AS) sejak pembukaan perdagangan setelah libur lebaran. Bank Indonesia (BI) memandang, pelemahan rupiah kali ini terjadi karena investor yang membeli dolar AS pasca libur panjang.
Meski begitu, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa instansinya berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Dalam jangka pendek, BI akan mengambil langkah pre emptive guna mengantisipasi dampak penguatan dolar AS lebih lanjut. Salah satunya, membuka peluang kembali kenaikkan suku bunga acuan (BI 7Days Repo Rate) ataupun merelaksasi rasio kredit terhadap agunan (Loan to Value/LTV).
Langkah tersebut, kata dia, bertujuan meningkatkan kepercayaan investor khususnya asing terhadap instrumen investasi di Indonesia. "Kami yakin dengan berbagai langkah kebijakan moneter, akan membuat aset di pasar keuangan Indonesia menarik bagi investor luar negeri untuk berinvestasi," ujar Perry, usai acara Halal Bi Halal di kantornya, Jakarta, Jumat (22/6).
Bila investor asing masuk (capital inflow), maka pasokan dolar AS di dalam negeri akan naik. Pasokan ini penting guna memenuhi kebutuhan dolar AS di Tanah Air, baik untuk impor, pembayaran dividen, dan lainnya. Hanya, masuknya investor asing ke portofolio seperti saham atau surat utang (obligasi) bersifat sementara. Sebab, sentimen negatif yang beredar bisa memicu investor memindahkan dananya ke luar negeri (capital outflow).
(Baca juga: BI Isyaratkan Kenaikan Bunga Acuan dan Penurunan Uang Muka KPR)
Perry optimistis, investor akan tetap masuk ke Indonesia khususnya di Surat Berharga Negara (SBN). Sebab, ia mencatat pelemahan rupiah sejak awal tahun (year to date/ytd) hanya 2,3%. Menurutnya, pelemahan itu masih bisa ditoleransi bila dibanding mata uang di negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market) lainnya.
Selain itu, selisih antara suku bunga acuan dengan tingkat inflasi (real interest rate) saat ini masih di kisaran 1,2-1,3%. Hal itu dihitung dari BI 7 Days Repo Rate yang sebesar 4,75% dan inflasi yang diproyeksi sebesar 3,5-3,6% hingga akhir tahun. Dengan selisih tersebut, menurutnya keuntungan yang didapat investor bila berinvestasi di Indonesia masih cukup menarik.
Kemudian, imbal hasil antara Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun sebesar 7,5%. Nilai itu lebih tinggi ketimbang yield US Treasury untuk tenor yang sama, senilai 2,9%. "Selisihnya hampir 4,5% itu sangat menarik bagi investor asing untuk membeli SBN. Itu lebih dari cukup untuk mengompensasi premi risiko yang ada," ujarnya.
Tugas BI selanjutnya adalah memastikan instrumen investasi Indonesia masih tetap menarik di mata investor. "Maka langkah pre emptive lain saat RDG nanti bisa berupa kenaikan suku bunga acuan, yang akan membuat pasar keuangan Indonesia semakin menarik bagi investor," kata Perry.
BI juga berencana merelaksasi kebijakan LTV di sektor perumahan. Hal itu bertujuan untuk mendorong permintaan kredit di sektor ini. Dalam jangka menengah-panjang, sektor perumahan yang membaik akan menarik minat investor untuk berinvestasi.
(Baca juga: Optimistis Tatap Ekonomi AS, The Fed Kerek Bunga Acuan Jadi 2%)
Adapun arus modal masuk ini dibutuhkan guna membiayai neraca transaksi berjalan Indonesia yang masih defisit. BI mencatat, defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) sebesar US$ 5,5 miliar atau 2,1% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara sepanjang tahun, defisitnya diproyeksi sekitar 2%-2,1% atau naik dibanding realisiasi 2017 yang sebesar 1,7% dari PDB.