Jokowi Perintahkan Jajarannya Waspadai Lanjutan Risiko Ekonomi Global

Laily - Biro Pers Setpres
Presiden Joko Widodo memimpin rapat kabinet bersama seluruh jajaran menteri, termasuk sejumlah menteri yang baru dilantik.
15/5/2018, 12.59 WIB

Presiden Joko Widodo meminta jajarannya mewaspadai risiko ketidakpastian global dan dampaknya terhadap ekonomi Indonesia. Hal ini disampaikan Presiden dalam rapat terbatas mengenai kebijakan ekonomi makro dan pokok kebijakan fiskal 2019 siang ini.

Beberapa risiko dimaksud antara lain volatilitas keuangan global yang dipicu normalisasi moneter Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve. Lalu ada pula faktor lain seperti meningkatnya harga minyak, perang dagang Amerika-Tiongkok, hingga kondisi geopolitik. (Baca juga: Ekonomi Global Tak Menentu, Pajak Jadi Tumpuan Danai Infrastruktur).

“(Volatilitas keuangan) banyak mengakibatkan depresiasi mata uang dunia, termasuk Indonesia,” kata Jokowi di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (15/5). Dalam sepekan terakhir, rupiah memang masih tertekan oleh dolar Amerika dan bergerak di level 13.900 – 14.000.

Menurut dia, momentum pertumbuhan ekonomi kuartal pertama sebesar 5,06 persen harus ditingkatkan. Caranya, dengan menjaga daya beli, meningkatkan investasi, serta daya saing ekspor nasional. Karenanya, hambatan ekspor harus diperbaiki antara lain terkait perizinan, akses perbankan dan pembiayaan, perpajakan, serta kepabeanan. Bukan hanya di pusat, juga di daerah.

Terakhir, Jokowi juga memerintahkan agar stabilitas keamanan dijaga. Hal ini agar pemerintah dapat bekerja dengan fokus dalam menurunkan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, hingga perbaikan kesejahteraan masyarakat. “Kami percepat dan akan kami perbaiki,” kata dia.

Berdasarkan data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika hari ini kembali terpeleset menjadi Rp 14.020 per dolar AS. Padahal kemarin nilai tukar rupiah masih diperdagangkan di level Rp 13.976.

Akhir pekan lalu, pemerintah menggelar pertemuan dengan pelaku usaha dari 40 institusi di kantor Direktorat Jenderal Pajak. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah menjelaskan kondisi perekonomian terkini di tengah gejolak nilai tukar rupiah terhadap. (Baca: Tekanan Eksternal Menguat, Pemerintah Yakinkan Pengusaha Ekonomi Baik).

Usai pertemuan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggelar konferensi pers bersama anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mengenai hasil pertemuan dan perkembangan ekonomi. “Mereka (pelaku usaha) masih optimistis terhadap policy dan kinerja ekonomi Indonesia,” kata Sri, Jumat (11/5).

Menurut dia, para pelaku usaha memahami bahwa gejolak nilai tukar rupiah terjadi imbas faktor eksternal, bukan domestik. Adapun dari sisi domestik, kondisi Anggaran Penerimaan dan Belanja (APBN) 2018 jauh lebih kuat dibandingkan tahun sebelumnya. Indonesia memiliki ruang fiskal apabila dibutuhkan dalam menjaga gejolak perekonomian dari luar.

Ruang fiskal tersebut seiring dengan defisit APBN yang dipatok rendah yaitu 2,19 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), jauh di bawah batas yang diatur Undang-Undang Keuangan Negara yaitu 3 persen terhadap PDB.

Sampai akhir April, realisasi APBN diklaim postif, ditandai dengan defisit APBN yang mencapai Rp 55,1 triliun. Defisit tersebut jauh lebih kecil dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp 72,2 triliun. (Baca pula: Tambal Defisit Neraca, Pemerintah Akan Buka Impor Gula Mentah).

Bahkan, keseimbangan primer tercatat surplus Rp 24,2 triliun atau jauh lebih besar dibandingkan periode sama pada 2017 sebesar Rp 3,7 triliun. Keseimbangan primer adalah total penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang. Kondisi surplus menunjukkan meningkatnya kemampuan negara membayar bunga utang. “Jadi APBN kita kuartal pertama sangat baik,” ujar Sri.