Nilai tukar rupiah menembus Rp 14 ribu per dolar Amerika Serikat (AS) pada Senin (7/5), setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I 2018 yang di bawah prediksi pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Nilai tukar rupiah tersebut merupakan yang terlemah sejak Desember 2015.

BPS melansir pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,06%. Level tersebut tercatat lebih baik dibandingkan periode sama dalam tiga tahun terakhir, namun di bawah prediksi BI yang sebesar 5,1% dan prediksi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yaitu 5,2%. Prediksi yang meleset tersebut di antaranya lantaran pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang masih tertahan di bawah 5%.

(Baca juga: Diselamatkan Investasi, Ekonomi Indonesia Kuartal 1 Tumbuh 5,06%)

Namun, pelaku pasar berpendapat tekanan terhadap nilai tukar rupiah menguat lantaran adanya faktor musiman. Foreign Exchange (FX) Trader INTL Singapura Migze Wu mengatakan investor asing melakukan konversi dividen saham maupun bunga obligasi dari rupiah ke dolar AS. Maka itu, tekanan kurs membesar.

Meski begitu, ia meyakini Bank Indonesia (BI) akan berupaya menjaga agar kurs rupiah tak semakin melorot. “14 ribu adalah batas psikologis, sehingga bank sentral mungkin masih memainkan peran untuk mempertahankan ini,” kata Wu seperti dikutip Bloomberg, Senin (7/5).

Pekan lalu, Gubernur BI Agus Martowardojo juga menyampaikan penjelasan yang senada. Menurut dia, kebutuhan pemerintah dan swasta akan dolar AS memang membesar pada kuartal II. Hal itu lantaran adanya kewajiban untuk membayar dividen dan bunga ke luar negeri, serta impor. Maka itu, tekanan terhadap nilai tukar rupiah menguat.

Namun, ia meyakinkan BI akan terus berada di pasar untuk melakukan langkah-langkah stabilisasi yang diperlukan. "Misalnya kami melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) atau memberikan likuiditas rupiah atau menarik likuiditas rupiah yang berlebih di market," ujarnya.

Adapun langkah stabilisasi kurs rupiah telah membuat cadangan devisa tergerus sejak Februari 2018 lalu. Meski begitu, cadangan devisa masih cukup besar yaitu di level US$ 126 miliar per akhir Maret 2018 lalu atau setara 7,9 bulan impor, jauh di atas standar kecukupan internasional yaitu tiga bulan impor.  

Agus menyatakan, pihaknya pun terus berupaya memperkuat bantalan cadangan devisa melalui kerja sama bilateral maupun multilateral swap arrangement. Kerja sama tersebut penting untuk mengantisipasi risiko kesulitan devisa. (Baca juga: BI Bakal Dapat Fasilitas Tarik Dolar AS dan Yen dari Pemerintah Jepang)

Pada perdagangan Senin (7/5) ini, mayoritas mata uang Asia juga mengalami pelemahan, meskipun rupiah dan rupee India tercatat melemah paling dalam yaitu 0,41%. Pelemahan tersebut seiring dengan kembali menguatnya dolar AS terhadap mata uang dunia yang tercermin dari indeks DXY yang naik.  

Reporter: Rizky Alika