Struktur Biaya Produksi Gabah Didominasi Tenaga Kerja dan Sewa Lahan

ANTARA FOTO/Rahmad
Petani memanen butiran padi (gabah) di Desa Kandang, Lhokseumawe, Aceh, Kamis (23/3).
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
4/5/2018, 20.19 WIB

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi 2017 sebesar Rp 2.926,05 per kilogram. Survei dilakukan kepada 165.885 sampel rumah tangga padi di 34 provinsi pada 1 Mei-30 Juni 2017.

Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS Hermanto menyatakan tenaga kerja dan sewa lahan berkontribusi paling besar terhadap struktur biaya  produksi gabah petani. Tenaga kerja menyumbang Rp 1.427,53 atau sekitar 48,79%  terhadap struktur biaya produksi gabah, seadangkan sewa lahan mencapai Rp 749,32 atau 25,61%. “Kami meneliti kontribusi kedua komponen mencapai 74,4%,” kata dia di Jakarta, Jumat (4/5).

(Baca : Harga Gabah Petani Turun, BPS Sebut Beras Impor Disimpan di Gudang)

Sementara itu, komponen lain seperti pupuk  menyumbang komponen biaya produksi terbesar ketiga sebesar Rp 275,79 atau 9,43%, kemudian diikuti  pestisida Rp 122,91 atau 4,20%, bibit menyumbang  sebesar Rp 111,00 atau 3,79%, bahan bakar dan alat mekanik Rp 113,66 atau 3,88%, serta keperluan lain mencapai Rp 125,84 atau 4,30%.

Hermanto mengatakan biaya produksi gabah dan beras di Indonesia  masih cukup tinggi. Survei BPS mencatat harga gabah di tingkat produsen sebesar Rp 3.960 per kilogram, karena  74,28% petani lebih memilih menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul.

Pengumpul  kemudian akan menimbang harga sesuai kualitas padi dan  mekanisme pasar. Kebijakan pemerintah  yang  menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 senilai Rp 3.700 per kilogram pun rupanya masih berada di bawah harga produsen.

Sementara itu, jika dihitung secara keseluruhan nilai produksi gabah per hektare mencapai sebesar Rp 18,51 juta. Dengan biaya produksi sebesar  Rp 13,56 juta, maka pendapatan petani  hanya sebesar Rp 4,95 juta per musim tanam.

Sedangkan jika dihitung per bulan,  pendapatan petani hanya sekitar Rp 1,23 juta. “Hasilnya masih jauh di bawah upah minimum,” ujarnya.

Terlebih lagi saat ini  struktur kepemilikan sawah petani masih kecil. Survei BPS  menunjukan, kepemilikan sawah petani 57,97% hanya di bawah 0,1 hektare. Sebanyak 29,47% petani memiliki 0,1 sampai 0,49 hektare, dan 12,54% punya 0,5 sampai 9,99 hektare. Hanya 0,02% petani yang memiliki lahan lebih dari 10 hektare.

Pengamat pangan dan pertanian Khudori pun ikut menyoroti struktur kepemilikan sawah petani yang kecil  serta minimnya pendapatan petani yang ikut mempengaruhi daya beli masyarakat.  Padahal pada 2017, sebanyak 35,92 juta orang bekerja untuk sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan.

Karenanya dia menyarankan  program pemerintah seperti Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial agar lebih ditingkatkan. Sehingga, petani bisa memiliki  lahan untuk mengurangi ongkos sewa  dan tenaga kerja.

Data BPS juga menunjukan konsumsi rumah tangga dalam angka garis kemiskinan pada September 2017 sebesar 73,35%. Dimana beras menyumbang konsumsi dalam makanan sekitar 20%.

"Jika ongkos produksi padi dibiarkan tinggi, dampaknya pun bakal berpengaruh terhadap inflasi perdesaan. Alhasil angka kemiskinan bisa bertambah,” ujar Khudori.

(Baca Juga : Patokan Harga Beras Berpotensi Meningkatkan Angka Kemiskinan)