Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras yang diberlakukan oleh Kementerian Perdagangan sejak 1 September 2017 lalu dinilai merugikan petani. Dalam jangka panjang, kebijakan ini bahkan berpotensi bakal meningkatkan angka kemiskinan.

Kebijakan penetapan batas atas (ceiling price) harga jual sesungguhnya dimaksudkan untuk stabilisasi harga beras dan menekan inflasi. Persoalannya, langkah ini tidak ditunjang oleh kesiapan instrumen pendukung produksi padi pada hulu rantai pasok.

Advertisement

Kondisi ini yang menurut Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Said Abdullah, membuat kebijakan HET hanya akan menguntungkan konsumen. Padahal, seharusnya stabilisasi harga pangan juga melihat sisi produksi. “Supaya seimbang," kata Said dalam lokakarya yang mengulas kebijakan stabilisasi pangan di Jakarta, Rabu (13/12).

Kementerian Pertanian juga tak lepas dari sorotan Said. Sebab, program swasembada pangan yang dijalankan oleh Kementerian ini dinilai tidak banyak berdampak bagi kesejahteraan petani. "Petani saat ini tidak lebih dari alat produksi untuk mengejar swasembada," ujarnya.

Ancaman Kemiskinan

Buruknya kondisi yang dihadapi petani ini berpotensi meningkatkan angka kemiskinan nasional. Sebab, data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2000 hingga 2015 menunjukkan, tingkat kemiskinan di desa yang bercorak agraris selalu lebih tinggi dari perkotaan.

Pada 2015, penduduk miskin di desa sebanyak 17,9 juta jiwa, sedangkan penduduk miskin di kota sebesar 10,6 juta jiwa. Dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional pada 2016, beras juga menjadi komoditas yang berkontribusi paling besar terhadap garis kemiskinan penduduk perdesaan.

Kontribusinya mencapai 25,4 persen. Kemudian diikuti oleh rokok 10,7 persen dan daging sapi 3,5 persen. Karena itu, "Walau tren kemiskinan turun, rentang kemiskinan desa dengan kota selalu jauh," ujar Said.

Grafik: Tingkat Pengangguran dan Kemiskinan (2014-2017)
Tingkat Pengangguran dan Kemiskinan (2014-2017)

Adanya penetapan HET dikhawatirkan akan semakin memperburuk tingkat kemiskinan di pedesaan dalam jangka panjang. Salah satu argumen Said, pembatasan harga di tingkat konsumen bakal membuat pedagang menekan harga ke petani.

Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah pun dinilai tak cukup efektif membantu petani. Sebab, petani yang membutuhkan uang untuk kembali menanami lahannya cenderung menjual gabah ke tengkulak seketika setelah panen, di saat harganya rendah.

Biaya Produksi Tinggi

Faktor lain yang memperberat kondisi petani adalah biaya produksi padi yang relatif tinggi. Menurut data International Rice Research Institute (IRRI) tahun 2013, biaya produksi padi Indonesia mencapai US$ 0,37 atau Rp 5 ribu per kilogram. Dengan produksi gabah sebanyak 5,2 ton untuk 1 hektare sawah, maka biaya produksinya bisa mencapai Rp 25,9 juta.

Angka ini paling tinggi dibanding produsen beras Asia lainnya, yaitu Tiongkok, India, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Data BPS pada 2014menunjukkan, 30 persen dari total biaya produksi padi untuk sewa lahan dan 35 persen lainnya untuk ongkos tenaga kerja.

(Baca juga: Harga Gabah Tinggi, Harga Beras Ikut Naik)

Dengan biaya produksi sebesar itu, Said menilai penetapan HET beras medium sebesar Rp 9.450–Rp 10.250 per kilogram hanya akan merugikan petani. "Kalau terus-menerus rugi, petani tanaman pangan bisa beralih menggarap tanaman hortikultura, sehingga tujuan kedaulatan pangan bisa gagal," tuturnya.

Pandangan lain disampaikan oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Muhammad Firdaus. Menurut dia, aturan HET harus diikuti upaya pemerintah untuk menjaga Nilai Tukar Petani (NTP) pada tingkat layak usaha.

Halaman:
Reporter: Michael Reily
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement