Bank Indonesia (BI) menyatakan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bukan yang terparah di antara negara-negara berkembang (emerging market).
Berdasarkan data BI per 20 April, secara year to date rupiah mengalami depresiasi 2,23%. Sementara itu, lira Turki melemah 6,54%, peso Filipina 4,15%, baht Thailand 4,01%, ringgit Malaysia 3,82%, rupee India 3,38%, real Brasil 2,81%.
"Masih banyak yang lebih parah dari kita. Kami paham banyak yang kejadian ini (pelemahan nilai tukar), jadi kami gugah untuk bersama-sama jaga rupiah kita," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Agusman di kantornya, Senin (23/4).
Agusman meyakinkan BI akan tetap berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Ia pun menilai pelemahan nilai tukar rupiah hanya bersifat sementara. (Baca juga: Permintaan Dolar AS Membesar, Penyebab Kurs Rupiah Nyaris Rp 14 Ribu)
Dari sisi domestik, ia menilai pembayaran dividen valuta asing tidak perlu dikhawatirkan dapat melemahkan rupiah lebih dalam. "Dividen rutin kita alami setiap tahun, jadi tidak perlu dikhawatirkan," ujar dia.
Faktor impor juga dinilai bukan penyebab pelemahan rupiah. Sebab, defisit transaksi berjalan alias current account deficit (CAD) Indonesia masih pada level sehat, yaitu di bawah 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Sebaliknya, ia menyebutkan faktor global perlu diwaspadai karena berada di luar kuasa Indonesia. Ia pun meminta masyarakat untuk menjaga nilai tukar rupiah dari segi psikologis.
Pada perdagangan di pasar spot, nilai tukar rupiah berada pada level 13.975 per dolar AS pada penutupan perdagangan, Senin (23/4). Artinya, rupiah melemah 0,59% dari penutupan hari sebelumnya. Pergerakan nilai tukar rupiah hari ini terpantau pada kisaran Rp 13.886 - 13.982. Sementara pada kurs tengah BI, nilai tukar rupiah hari ini berada pada level 13.894 per dolar AS.
Di sisi lain, Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya ialah kecenderungan importir untuk memegang dolar sebelum dolar bertambah mahal.
"Importir lebih banyak memegang dolar untuk kebutuhan impor bahan baku dan barang konsumsi jelang Lebaran. Perusahaan juga meningkatkan pembelian dolar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek. Lebih baik beli sekarang sebelum dolar semakin mahal," ujar dia kepada Katadata.co.id.
Selain itu, Bhima mengatakan investor berspekulasi terkait kenaikan bunga dana Bank Sentral AS pada rapat 1-2 Mei 2018 mendatang. Spekulasi tersebut membuat arus dana asing keluar (capital outflow) dari pasar saham mencapai Rp 7,99 triliun dalam satu bulan terakhir.
"Kenaikan yield atau imbal hasil treasury bond jelang rapat Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun," katanya.
Bhima memperkirakan, permintaan dolar AS naik pada triwulan II 2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. Investor di pasar saham sebagian besar adalah investor asing sehingga mengonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dolar.
Sementara itu, ia memperkirakan defisit transaksi berjalan tahun ini semakin melebar hingga 2,1% terhadap produk domestik bruto (PDB). "Selain karena keluarnya modal asing juga karena defisit neraca perdagangan yang diperkirakan akan kembali terjadi jelang Lebaran karena impor barang konsumsinya naik," ujarnya.
Bhima menyarankan pemerintah untuk memperkuat kinerja ekonomi domestik karena sebagian besar yang mempengaruhi pelemahan rupiah merupakan fundamental ekonomi. Efektivitas proyek infrastruktur dan penyaluran bantuan sosial (bansos) harus lebih tepat sasaran.
Selain itu, pemerintah perlu menjaga stabilitas harga baik BBM, listrik maupun harga pangan jelang Ramadhan. Selain itu, pengusaha terutama yang memiliki utang luar negeri diharapkan untuk melakukan hedging atau lindung nilai atas utang valasnya. "Fluktuasi kurs dapat membuat risiko gagal bayar utang valas meningkat," kata Bhima.
Di sisi lain, ia menekankan perusahaan yang bersiap membagikan dividen perlu mempersiapkan pasokan dolar untuk memitigasi kurs dolar semakin mahal ke depannya.
Adapun BI dinilainya tidak bisa terus mengandalkan cadangan devisa sebagai instrumen stabilitas nilai tukar. "Harus lebih kreatif gunakan cara lain. Kalau terus menerus cadev berkurang bisa berbahaya bagi perekonomian," ujar dia.