Nilai tukar rupiah terhadap dolar Ameriksa Serikat (AS) semakin tertekan di April 2018 ini. Padahal, dana asing sudah kembali masuk ke pasar Surat Berharga Negara (SBN). Nilai tukar rupiah menembus 13.900 mulai Jumat (20/4) pekan lalu dan berlanjut ke Senin (23/4) ini.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan pelemahan terjadi lantaran adanya kebutuhan besar dolar AS, terutama untuk pembayaran dividen dan impor perusahaan-perusahaan besar seperti PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT Pertamina. “Jadi, real demand,” kata dia kepada Katadata, Senin (23/4).

(Baca juga: Ekonom Bicara Kejatuhan Rupiah dan Kebijakan Bunga BI)

Di sisi lain, ia melihat adanya kecenderungan eksportir enggan menjual dolar. Alhasil, pasokan dolar terpengaruh. “Eksportir banyak menahan karena mereka khawatir rupiah terus melemah, jadi mungkin perlu instrumen untuk menjamin ketersediaan valas (valuta asing) supaya ketika membeli lagi, valas tersedia,” ujarnya.

Instrumen yang dimaksud yakni instrumen hedging (lindung nilai) valas. Dari segi tenor misalnya, eksportir juga membutuhkan hedging yang berjangka panjang, selain berjangka pendek. Sejauh ini, hedging kebanyakan hanya berjangka satu bulan atau tiga bulan.

Namun, kebijakan tersebut juga diakui belum tentu membuat eksportir jadi tertarik untuk segera melepas dolarnya. Sebab, eksportir juga mengharapkan keuntungan. Jadi, kemungkinannya mereka baru akan menjual jika kurs rupiah dalam tren menguat. “Mereka lihat opportunity (peluang). Kalau jual, (mereka juga) mau untung,” ucapnya.

Dengan kondisi seperti sekarang, David menyebut yang bisa diharapkan untuk jadi penggerak transaksi valas di pasar adalah membesarnya pasokan valas seiring masuknya dana asing ke SBN. Ia mengakui dana asing sudah kembali masuk, namun jumlahnya dinilai belum cukup besar.

Mengacu pada data Kementerian Keuangan, pemilikan SBN oleh asing sebesar Rp 871,4 triliun per Kamis (19/4) atau naik Rp 45,1 triliun dari level kepemilikan terendahnya sepanjang tahun ini yaitu Rp 826,3 triliun pada pertengahan Maret lalu.

Sementara itu, di pasar spot, nilai tukar rupiah tercatat bergerak di rentang Rp 13.886-13.922 per dolar AS pada perdagangan Senin (23/4) hingga pukul 13.00 WIB. Level ini merupakan yang terlemah sejak awal 2016. Sementara itu, di pasar Non Delivery Forward (NDF) outright, nilai tukar rupiah untuk kontrak 6 bulan telah berada di kisaran Rp 14.100-14200 per dolar AS pada Senin (23/4) pagi.

Meski nyaris memasuki level 14 ribuan per dolar AS di pasar spot, David menilai hal tersebut bukan masalah. Yang terpenting, nilai tukar rupiah jangan sampai melemah terlalu cepat. “Yang khawatir melemah dalam tempo cepat sehingga mengganggu confidence pengusaha dan masyarakat dalam bertransaksi dan berinvestasi,” kata dia. Adapun sejak awal tahun ini, ia menilai pelemahan rupiah masih terkendali yaitu sekitar 3%.    

Namun, ia menjelaskan, ada level pelemahan yang perlu diwaspadai lantaran bisa mengganggu perusahaan-perusahaan pemilik utang valas dalam jumlah besar. Sebab, pelemahan bakal membuat beban pembayaran utang perusahaan yang dimaksud membengkak.

Dari sisi moneter, ia menyarankan Bank Indonesia (BI) untuk memberikan sinyal kenaikan bunga acuan kepada pasar, jika meyakini adanya tren kenaikan inflasi ke depan. Apalagi, bunga dana AS juga dalam tren kenaikan. “Ini perlu diwaspadai,” ucapnya. Jalan ini diharapkan bisa menenangkan pasar. Adapun Malaysia tercatat sudah menaikkan bunga acuannya pada Januari 2018 lalu, setelah 3,5 tahun lamanya tidak menaikkan bunga acuan.