Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah mencapai Rp 4.034,8 triliun per Februari 2018. Nominal utang tersebut naik Rp 478,69 triliun atau 13,46% dari posisi Februari tahun lalu. Meski begitu, rasio utang terbilang rendah yaitu 29,2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), di bawah negara-negara setara Indonesia (peer countries).

Secara rinci, mayoritas utang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yaitu Rp 3.257 triliun, terdiri dari SBN rupiah Rp 2.359,47 triliun dan SBN valas Rp 897,78 triliun. Di sisi lain, pinjaman Rp 777,54 triliun, terdiri dari pinjaman luar negeri Rp 771,76 triliun dan dalam negeri Rp 5,78 triliun.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai kenaikan nominal utang tersebut wajar lantaran seiring dengan kenaikan produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Saat ini, PDB tercatat Rp 13.798 triliun. “Berbahaya kalau nominal PDB turun, tapi nominal utang terus naik, bisa membuat krisis seperti Eropa Selatan,” kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (15/3).

Namun, tetap ada risiko yang perlu diwaspadai. David mencermati besarnya pemilikan asing di SBN. “Kalau mereka tiba-tiba keluar bisa membuat gejolak ke rupiah,” kata dia. Berdasarkan data terakhir, investor asing memegang 39% dari total SBN. (Baca juga: Utang Luar Negeri Melonjak Imbas Minimnya Pendanaan Domestik)

Menurut David, sebanyak 7-8% di antaranya bukan masalah lantaran dipegang bank sentral negara lain yang orientasi penempatan dananya berjangka panjang. Yang perlu diwaspadai yaitu yang dipegang oleh manajer investasi (fund manager) yang mudah keluar masuk. (Baca juga: Dana Asing Mengalir Keluar dari Pasar Keuangan, Tekanan Kurs Menguat)

Sebagai alternatif solusinya, ia mendorong agar pemerintah lebih mengupayakan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment), untuk mendanai berbagai proyek pemerintah dan pengembangan industri di dalam negeri.

Dalam jangka panjang, FDI terutama yang mengalir untuk industri berorientasi ekspor bakal mempertebal devisa. “FDI mungkin akan membuat impor bahan baku tinggi di awal, tapi kalau produknya bukan hanya untuk pasar domestik, tapi untuk diekspor, maka ke depan bisa menaikkan devisa,” ucapnya. 

Menurut perhitungan David, Indonesia masih perlu mempertebal cadangan devisa. Hal itu dengan mempertimbangkan utang luar negeri jangka pendek yang cukup besar yaitu mencapai US$ 50 miliar. “Kalau sekarang cadangan devisa sekitar US$ 130 miliar, paling tidak harus US$ 150-200 miliar, ini dengan benchmark dengan negara-negara lain,” kata dia. (Baca juga: BI Jaga Rupiah, Cadangan Devisa Februari Anjlok Hampir US$ 4 Miliar)

Selain FDI, ia juga mendorong adanya pendalaman pasar finansial, melalui penerbitan instrumen-instrumen investasi lainnya, misalnya surat utang yang tidak bisa dijual dalam jangka waktu tertentu. “Mesti dicari instrumen lain, ada savings bonds harus ditahan 3 tahun, SUN mungkin diperkenalkan fixed 3 tahun,” kata dia. (Baca juga: Cegah Dana Asing Keluar, Ekonom Usulkan Holding Period Obligasi Negara)

Adapun pemanfaatan utang dinilai David sudah semakin baik. Hal itu lantaran utang lebih banyak dialokasikan untuk keperluan produktif lantaran subsidi sudah lebih tepat sasaran dan semakin banyak alokasi untuk pembangunan infrastruktur. “Ke depan harus banyak alokasi juga untuk pengembangan SDM (Sumber Daya Manusia) ya,” ujarnya.