Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri meminta pemerintah menunda proyek pembangunan infrastruktur karena mengancam anggaran negara saat ini. Langkah itu dianggap paling tepat sehingga popularitas Presiden Joko Widodo tidak akan terganggu menjelang pemilihan presiden tahun 2019.
Menurut Faisal, Jokowi tak perlu takut kehilangan popularitas dan elektabilitas karena menunda pembangunan infrastruktur. Sebaliknya, kalau proyek infrastruktur dilanjutkan akan berpotensi menimbulkan krisis ekonomi.
"Coba kalau krisis terjadi, (kurs) rupiah ke 14 ribu (per dolar Amerika Serikat), pertumbuhan ekonomi lebih rendah, pengangguran naik, kan lebih tidak populer (Jokowi)," kata Faisal dalam acara diskusi mengenai kondisi ekonomi dan politik menjelang tahun 2019 di Jakarta, Senin (16/10).
(Baca: Bahaya Anggaran Negara: Pajak Seret, Proyek Infrastruktur Membebani)
Ia menjelaskan, pembangunan infrastruktur perlu ditunda karena tidak ditopang oleh peningkatan penerimaan negara, terutama penerimaan pajak yang malah menunjukkan kecenderungan penurunan. Pada 2012 penerimaan pajak masih tumbuh 12,2%, kemudian menurun tahun 2013 dan 2014 menjadi 9,9% dan 6,4%.
Meski sempat tumbuh 8,1% pada 2015, pertumbuhan pajak tahun lalu mencapai titik nadir yaitu hanya 3,1%. Sedangkan penerimaan pajak periode Januari-Agustus 2017 mencapai Rp 686 triliun atau 53,5% dari target APBN Perubahan 2017 dengan pertumbuhan tahunan 10,23%.
"Pajak menurun, tapi belanja infrastruktur tidak mau dipotong, ya repot," kata Faisal.
Di sisi lain, Faisal juga menilai kemampuan perbankan untuk melakukan pembiayaan infrastruktur sangat terbatas. Dari data Bank Dunia pada 2015, pembiayaan dari sektor perbankan di Indonesia hanya mencapai 46,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bandingkan dengan penetrasi pembiayaan dari perbankan di negara-negara lain yang sudah melebihi 100% dari PDB.
Adapun, jalan lain menutup kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur yang paling memungkinkan adalah dengan berutang. Namun, menurut Faisal, penambahan utang akan membuat defisit anggaran negara melebihi 3% dari PDB. "Kalau tidak dipotong, defisitnya melebihi 3%. Itu tidak boleh. Jadi ini bahaya, Indonesia melanggar Undang-undang Keuangan Negara," katanya.
Membengkaknya defisit keuangan negara dapat membuat krisis kecil di Indonesia. Krisis ini, menurut Faisal, dapat membuat elektabilitas Jokowi semakin menurun. Sebab, berdasarkan banyak hasil survei, saat ini masyarakat masih kurang puas dengan kinerja Jokowi di sektor ekonomi.
Ketidakpuasan itu dirasakan oleh masyarakat kelas bawah yang jumlahnya sebanyak 40% dari seluruh warga Indonesia. Penyebabnya adalah daya beli masyarakat menurun.
Dengan adanya “krisis kecil”, kepuasan publik akan semakin merosot karena kondisi perekonomian akan bertambah sulit. Hal ini lantas dapat mempengaruhi elektabilitas Jokowi lebih lanjut.
Karena itulah, Faisal menyarankan agar Jokowi segera melakukan diet anggaran dengan memangkas belanja infrastruktur. Keputusan itu penting agar krisis tidak terjadi. "Krisis kecil akan terjadi kalau Jokowi tidak mau motong belanja infrastruktur.”
Namun, pemerintah masih optimistis pembangunan infrastruktur tidak akan menyebabkan masalah anggaran negara. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan memastikan, pembangunan infrastruktur tak akan menyebabkan defisit keuangan lebih dari 3%.
Pemerintah juga terus memonitor agar pencarian pendanaan infrastruktur tidak menimbulkan masalah. "Saya tidak melihat pembangunan infrastruktur itu membuat kita defisit lebih dari 3%," kata Luhut di kantornya, Jakarta, Selasa (17/10).
Selain itu, dia mengaku sudah berbicara dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk membahas belanja infrastruktur. Luhut memastikan jika Ani -sapaan Sri Mulyani- pun berhati-hati agar belanja infrastruktur tak membuat defisit keuangan negara.