Bank Indonesia (BI) melanjutkan pelonggaran moneter untuk mendukung penyaluran kredit dan pemulihan ekonomi. Bunga acuan BI 7 Days Repo Rate dipangkas 0,25% menjadi 4,25%. Ini artinya, secara total, bank sentral telah memotong bunga acuan sebesar 2% sejak tahun lalu.
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo menjelaskan, pemangkasan bunga acuan dilakukan seiring dengan realisasi dan perkiraan inflasi 2017 yang rendah yaitu di bawah 4%, serta perkiraan inflasi 2018 dan 2019 yang akan berada di bawah titik tengah kisaran sasaran yang sebesar 2,5-4,5%.
Pemangkasan juga dengan mempertimbangkan kondisi defisit transaksi berjalan yang berada dalam batas aman. Selain itu, memperhitungkan juga risiko eksternal terutama potensi kenaikan bunga dana bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) di akhir tahun dan normalisasi neraca keuangannya.
“Penurunan suku bunga kebijakan ini diharapkan dapat mendukung perbaikan intermediasi perbankan dan pemulihan ekonomi domestik yang sedang berlangsung,” kata Dody saat Konferensi Pers di Gedung BI, Jakarta, Jumat (22/9). (Baca juga: Bank BUMN Fokus Turunkan Bunga Kredit di Segmen Inti)
BI memandang, intermediasi perbankan belum menunjukkan perbaikan. Pertumbuhan kredit per Juli masih rendah yaitu 8,2% secara tahunan (year on year/yoy), hanya sedikit lebih baik dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 7,8%.
Pertumbuhan kredit yang tinggi hanya terjadi pada sektor konstruksi, listrik, jasa dan pertanian, sedangkan sektor-sektor lain masih tumbuh rendah. Adapun rasio kredit seret masih tinggi yaitu di level 3% terhadap total kredit. (Baca juga: LPS Prediksi Pertumbuhan Kredit Tahun Ini Hanya 9%)
Di sisi lain, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) per Juli tercatat 9,7%, menurun dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 10,3%. Penurunan terutama terjadi pada DPK valas.
“Ke depan, intermediasi perbankan diperkirakan akan membaik sejalan dengan penurunan suku bunga acuan dan pelonggaran kebijakan makroprudensial oleh Bank Indonesia, serta kemajuan dalam konsolidasi perbankan dan korporasi,” kata Dody. Kondisi tersebut diharapkan bisa menyokong laju perekonomian.
Adapun pada kuartal III ini, perekonomian domestik diklaim membaik pada beberapa sektor. Perbaikan konsumsi rumah tangga terlihat pada membaiknya penjualan ritel dan penjualan barang-barang tahan lama.
Sementara itu, investasi bangunan diperkirakan tetap tumbuh baik sejalan dengan realisasi belanja pemerintah. Sedangkan investasi nonbangunan terutama pada industri berbasis ekspor komoditas diperkirakan membaik sejalan dengan tetap tingginya harga komoditas dunia.
Adapun secara sektoral, kondisi industri domestik masih lemah, namun perbaikan mulai terlihat di beberapa sektor, seperti di sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sektor industri pengolahan juga diperkirakan mulai membaik terutama di sektor-sektor yang terkait dengan kegiatan ekspor, seperti alat angkut serta kimia dan farmasi.
BI optimistis pertumbuhan ekonomi ke depan akan semakin membaik sejalan dengan pengeluaran pemerintah yang meningkat dan pelonggaran kebijakan moneter. “Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi tahun 2017 diperkirakan masih dalam kisaran 5-5,4% dan meningkat menjadi 5,1-5,5% pada tahun 2018,” kata dia.
Selain memangkas bunga acuan, BI juga memangkas suku bunga fasilitas simpanan (deposit facility) dan fasilitas pinjaman (lending facility) masing-masing 0,25% menjadi 3,5% dan 5%. Menurut Dody, ke depan, kebijakan moneter BI masih akan netral lantaran masih adanya ketidakpastian dari eksternal, seperti kebijakan moneter The Fed.
"Pokoknya yang menjadi pertimbangan kami adalah inflasi dan nilai tukar rupiah," kata dia. Adapun selama Agustus 2017, secara rata-rata rupiah menguat sebesar 0,02% menjadi Rp 13.343 per dolar AS. Penguatan tersebut dipengaruhi oleh pelemahan dolar AS dan aliran masuk dana asing yang menyebabkan kondisi net supply di pasar valas.