Director European Center for International Political Economy Husok Lee-Makiyama menyarankan agar Indonesia memperbaiki kebijakan perpajakan di dalam negeri untuk menarik perusahaan digital berinvestasi. Kebijakan perpajakan disarankan lebih sederhana, transparan, dan tidak memberatkan.
"Kalau kebijakan pajak memberatkan, justru Indonesia akan kehilangan potensi," kata dia saat acara bertema 'The Impact of Tax in Corporate Investment, Digital Economics, and Regional Geopolitical' di Hotel Shangri-La, Jakarta, Kamis (3/8).
Perbaikan kebijakan perpajakan, kata dia, bukan berarti menurunkan tarif pajak. Adapun tarif pajak Indonesia yang lebih rendah dibanding Amerika Serikat (AS) diklaim Husok telah membuat banyak perusahaan digital berminat berinvestasi, termasuk Google.
"Google itu sebenarnya berminat (investasi) di Indonesia karena tarifnya rendah. Cuma dia kan kedudukannya di AS. Dan, dia berharap tidak dikenakan pajak ganda. Di sini kena, di sana juga kena," ucapnya. (Baca juga: Berbentuk PT, Facebook Akan Buka Kantor di Jakarta Bulan Ini)
Maka itu, Husok mengimbau agar Presiden Joko Widodo bisa segera melakukan perbaikan kebijakan perpajakan untuk mendorong perusahaan digital, termasuk usaha e-commerce skala kecil dan menengah berkembang di dalam negeri. Dengan begitu, perekonomian Indonesia juga bisa memperoleh manfaat.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan bahwa Indonesia perlu mempersiapkan regulasi untuk mempermudah langkah Ditjen Pajak dalam memungut pajak industri digital. Adapun sejauh ini diketahui masih kesulitan memungut pajak dari e-commerce skala kecil dan menengah. (Baca juga: Belanja Online Naik, Potensi Pajak Hilang Rp 20 Triliun per Tahun)
Menurut Prastowo, selain regulasi, diperlukan juga koordinasi antarkementerian dan lembaga. Ia juga menyarankan dibuatnya kartu identitas tunggal (single identity) yang bisa digunakan untuk banyak transaksi. Kartu tersebut diklaim bisa memudahkan Ditjen Pajak memantau transaksi para wajib pajak.
"Saat ini yang diperlukan juga ID tunggal sehingga bisa mengidentifikasi siapa melakukan (transaksi) apa," ucapnya.
Sebelumnya, Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak Yon Arsal juga mengakui, pengumpulan pajak dari UMKM dan industri e-commerce belum sempurna. “Kalau beli barangnya di UMKM dan online, kemungkinan pajaknya belum ter-collect (terkumpul) dengan sempurna,” kata dia.
Menurut dia, Ditjen Pajak masih mencari cara agar pengumpulan pajak di sektor ini bisa maksimal. Adapun rata-rata pelaku bisnis e-commerce yang berkapasitas besar diklaim sudah membayar pajak. Namun untuk yang bersifat UMKM, belum. Sebab Ditjen Pajak tak memiliki data yang lengkap dan valid mengenai pelaku UMKM di bidang e-commerce ini.