Kementerian Keuangan melansir utang pemerintah pusat sebesar Rp 3.706,5 triliun hingga Juni 2017. Ini artinya, ada penambahan sebesar Rp 191 triliun dari posisi akhir tahun lalu yang sebesar Rp 3.515,5 triliun.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR ) Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menjelaskan, penambahan utang sebesar Rp 191 triliun berasal dari kenaikan utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp198,89 triliun dan pelunasan pinjaman sebesar Rp 7,83 Triliun.
Adapun penambahan utang tersebut untuk memenuhi berbagai kebutuhan belanja pemerintah. "Dengan tambahan utang ini memungkinkan belanja untuk pendidikan, infrastruktur, kesehatan, transfer ke daerah dan dana desa. Juga belanja sosial," kata dia dalam keterangan tertulis yang dilansir di situs DJPPR Kemenkeu, Jumat (21/7).
Mengacu pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2017, pemerintah mematok defisit anggaran sebesar Rp 397,23 triliun atau 2,92% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini artinya, ada potensi penambahan utang sebanyak itu tahun ini.
Meski begitu, Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit bakal lebih rendah yaitu di kisaran 2,67% terhadap PDB seiring dengan penyerapan anggaran yang kemungkinan tak mencapai 100%.
Secara rinci, Robert memaparkan, mayoritas utang pemerintah yaitu sebesar Rp 2.979,5 triliun atau 80,4% dari total utang pemerintah berbentuk SBN. Sedangkan sisanya, Rp 727,02 triliun dalam bentuk pinjaman.
Adapun untuk penerbitan SBN, pemerintah tercatat baru saja menerbitkan SBN berdenominasi valuta asing dalam dua mata uang yaitu euro dan dolar Amerika Serikat (AS). Besarannya masing-masing € 1 miliar dan US$ 2 miliar. Untuk SBN dalam euro tenornya 10 tahun dan dolar AS 30 tahun.
Robert menjelaskan, penerbitan dalam mata uang berbeda bertujuan untuk menarik lebih banyak investor. Selain itu, agar SBN yang jatuh tempo tidak menumpuk di satu tenor.
Adapun kewajiban pembayaran utang terus dijalankan. Dalam catatannya, pembayaran kewajiban utang pada Juni 2017 mencapai sebesar Rp 26,9 triliun terdiri dari pembayaran pokok utang yang jatuh tempo sebesar Rp 18,9 triliun dan pembayaran bunga utang sebesar Rp 8 triliun.
Menurut dia, pemerintah juga masih berupaya mengelola risiko utang dengan baik. Rasio utang dengan tingkat bunga mengambang (variable rate) tercatat sebesar 11,2 persen dari total utang. Sedangkan dalam hal risiko tingkat nilai tukar, rasio utang dalam mata uang asing terhadap total utang adalah sebesar 40,8 persen.
Sementara itu, rata-rata jatuh tempo atau Average Time to Maturity (ATM) saat ini sebesar 8,9 tahun, sedangkan utang jatuh tempo dalam lima tahun sebesar 39,1 persen dari outstanding.