Sri Mulyani: Utang Kita Lebih Rendah Dibandingkan Malaysia & Thailand

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Menteri Keuangan Sri Mulyani berpidato saat peluncuran perkembangan triwulan perekonomian Indonesia oleh Bank Dunia di Jakarta, Kamis (15/6).
Penulis: Desy Setyowati
18/7/2017, 16.37 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan utang Indonesia hingga tahun lalu masih lebih rendah dibandingkan negara tetangga, yakni Malaysia dan Thailand. Pernyataannya ini menanggapi kekhawatiran anggota Dewan Perwakilan Rakyat atas pengelolaan utang 2016.

Dia menjelaskan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun lalu hanya 28 persen. Rasio ini lebih rendah dibandingkan Thailand sebesar 44,4 persen dan Malaysia yang mencapai 53,2 persen. Rasio utang Indonesia juga lebih rendah dibandingkan negara-negara G20.

"Pada 2016, posisi utang pemerintah masih cukup aman, yang ditunjukan dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 28 persen," ujarnya saat Sidang Paripurna di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (18/7).

Dia menegaskan, pemerintah akan disiplin dalam mengelola anggaran dengan terus mengupayakan penggunaan utang hanya untuk mendanai program-program yang produktif. Belanja tersebut akan menghasilkan potensi penerimaan pada masa yang akan datang.

Tahun lalu, anggaran negara masih mengalami defisit hingga mencapai 2,46 persen terhadap PDB. Namun dengan adanya defisit ini, Sri berharap manfaat belanja pemerintah bisa maksimal dampaknya terhadap masyarakat. (Baca: DPR Tanggapi Beragam Usulan Pelebaran Defisit Anggaran)

"Defisit dan tambahan utang harus mampu mendorong peningkatan pendapatan masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur, program pengentasan kemiskinan, peningkatan kesehatan dan kualitas pendidikan," ujarnya. Dengan begitu, defisit anggaran tidak sampai menjadi pemicu krisis kepercayaan dan utang tetap dapat dikelola pada tingkat yang aman, sesuai kemampuan dalam membayar kembali. 

Sri mengaku sependapat dengan pandangan dan masukan DPR dari Fraksi PDl-P, agar struktur utang harus dikelola dengan baik agar tidak membebani keuangan negara. Oleh karena itu, kebijakan pembiayaan dan pengadaan utang baru akan memprioritaskan sumber dalam negeri yaitu penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).

Pengadaan utang baru dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan pengeluaran belanja, ketersediaan alternatif sumber pembiayaan, serta kondisi portofolio dan risiko utang. Pada tahun lalu, pemerintah juga menggunakan saldo anggaran lebih (SAL) sebagai salah satu sumber pembiayaan dalam negeri untuk mengurangi peningkatan utang Pemerintah. 

Untuk diketahui, utang pemerintah tahun lalu sudah mencapai Rp 3.515,46 triliun atau 28,3 persen terhadap  PDB. Selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo utang bertambah 1.000 triliunan menjadi Rp 3.672,3 triliun per Mei tahun ini.

(Baca: Utang Pemerintah Bengkak, Ekonom: Tanpa Berutang, Pajak Naik)

Kalangan ekonom berpendapat pemerintah memang perlu utang untuk membiayai pembangunan,  supaya perekonomian nasional bisa tumbuh lebih baik. Ekonom dari Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih menjelaskan sumber pembiayaan belanja negara berasal dari utang dan pajak.

Jika tidak boleh berutang, maka penerimaan pajak harus naik tinggi. “Masyarakat bilang jangan berutang, (berarti) pajak harus naik. Sebab kalau pajak segini-segini saja bagaimana? Apa enggak perlu ada pembangunan? Kalau utang dihujat terus, bagaimana, harus ada solusinya apa,” kata dia kepada Katadata pekan lalu.

Menurut Lana, kondisi utang pemerintah saat ini bukan tanpa risiko. Rasio utang terhadap PDB memang aman, tapi ada risiko dari sisi defisit keseimbangan primer dan rasio utang luar negeri jangka pendek terhadap cadangan devisa.