Pemerintah bakal membayar iuran US$ 50 ribu atau setara Rp 664 juta per tahun untuk mengikuti kerja sama internasional: pertukaran data secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) terkait pajak. Iuran tersebut untuk urunan pembangunan infrastruktur pendukung kerja sama tersebut.

Kepala Subdirektorat Pertukaran Informasi Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Leli Listianawati menjelaskan infrastruktur yang dibuat yaitu sistem transmisi bersama alias Common Transmission System (CTS). Sistem tersebut disiapkan oleh organisasi penyelenggaran AEoI yaitu Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD).

“CTS itu kami harus bayar. Kan yang sediakan server itu OECD, butuh infrastruktur, maka masing-masing negara harus bayar iuran tahunan,” kata Leli di kantornya, Jakarta, Selasa malam (13/6). Dia mengaku, OECD cukup transparan menjelaskan asal muasal perhitungan iuran ini.

Menurut dia, besaran iuran tersebut ditentukan berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) masing-masing negara. Nominal iuran Indonesia hampir sama dengan India lantaran PDB-nya tak jauh beda. Untuk negara dengan PDB kecil, iurannya bisa hanya sebesar US$ 20 ribu per tahun.

Nantinya, melalui CTS ini, tiap-tiap negara bisa saling bertukar data dengan standar yang sama guna menjaga kerahasiaan dan keamanan (confidentiality and safeguard). Melalui CTS, negara yang ingin saling bertukar data akan menghubungi orang yang bertanggung jawab (person in charge) di masing-masing otoritas pajak untuk segera membuka data tersebut.

Adapun, CTS hanya akan menjadi tempat perhentian sementara dari data tersebut. Maka, ada batas waktu data tersebut bisa diakses oleh yang bersangkutan. “Misalnya, Singapura mau kirim data ke Indonesia. Mereka akan hubungi PIC di Ditjen Pajak untuk segera buka data itu. Kalau enggak, nanti enggak bisa diakses,” ujar dia. Yang bertanggung jawab membuka data tersebut adalah Direktur Jenderal Pajak.

Nantinya, setelah menerima data tersebut, Ditjen Pajak akan melakukan verifikasi, sebagaimana prosedur yang biasa dilakukan selama ini. Verifikasi tersebut dilakukan khusus oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang menjadi tempat terdaftar dari wajib pajak. “Hanya KPP yang bersangkutan dengan wajib pajak itu yang berwenang,” kata dia. (Baca juga: Pasca Rekening Bank Diakses Pajak, Darmin Harap Penerimaan Stabil)

Rencananya, Indonesia akan melaksanakan kerja sama ini pada 2018 mendatang. Sejauh ini, pemerintah masih mempersiapkan peraturan-peraturan di dalam negeri untuk mendukung kerja sama tersebut. Adapun, peraturan utamanya sudah terbit yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi untuk Kepentingan Perpajakan.

Melalui aturan tersebut, lembaga jasa keuangan di antaranya perbankan diwajibkan untuk mengirimkan data keuangan nasabah secara otomatis kepada Ditjen Pajak. (Baca juga: Pemerintah Tetap Upayakan Keterbukaan Data Nasabah Bila Perppu Ditolak)