Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan mencatat penerimaan negara dari pajak sepanjang Januari-Februari 2017 mencapai Rp 134,6 triliun. Pencapaian tersebut lebih tinggi 8,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp 124,4 triliun.

Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak Yon Arsal mengatakan peningkatan realisasi penerimaan ini didukung oleh berbagai jenis pajak. "Hampir seluruh pajak mengalami pertumbuhan," kata Yon di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Senin (13/3). (Baca juga: Ditjen Pajak Prediksi Google Bayar Kewajiban Pajak Bulan Ini)

Secara rinci, ia menjabarkan, pertumbuhan terbesar terjadi pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mencapai Rp 53,8 triliun atau tumbuh 6,9 persen. Adapun, Pajak Penghasilan (PPh) di luar sektor minyak dan gas (migas) tumbuh 5,8 persen menjadi Rp 126,8 triliun, sedangkan PPh migas tumbuh 6,6 persen menjadi Rp 7,8 triliun.

Seiring dengan pertumbuhan impor, Yon menyebutkan penerimaan negara dari impor juga beranjak membaik. Dia mencontohkan realisasi PPh Pasal 22 untuk impor tumbuh 9,8 persen. Padahal di periode yang sama tahun lalu pertumbuhannya minus 7 persen. 

Dengan penerimaan yang sebesar Rp 134,6 triliun, maka realisasi penerimaan pajak 2017 sejauh ini telah mencapai 10,2 persen. Capaiannya lebih baik dibandingkan periode Januari-Februari tahun lalu yang hanya 9,1 persen. "Jadi 1 persen lebih tinggi," kata Yon.

Sebagai gambaran, tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan negara sebesar Rp 1.750,3 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan pajak dipatok Rp 1.307,3 triliun atau naik 1,85 persen dari realisasi tahun lalu yang sebesar 1.283,6 triliun.

Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan memperkirakan penerimaan pajak tahun ini masih akan meleset dari target. Selisih antara target dengan realisasi penerimaan (shortfall)  diprediksi bakal mencapai Rp 120 triliun sampai Rp 127 triliun. (Baca juga: Kekurangan Pajak Susut Separuh, APBN 2017 Bisa Tanpa Revisi)

"Penerimaan pajak mungkin akan berkurang (tidak sesuai target) atau shortfall. Kalau tahun lalu Rp 250 triliun dan tahun ini setengahnya lah Rp 127 triliun,” ujar Anton, Senin (6/3) pekan lalu. Salah satu penyebabnya adalah masih berlangsungnya program amnesti pajak (tax amnesty) hingga akhir kuartal pertama tahun ini.

Maka itu, Anton juga memperkirakan, pemerintah akan membatasi belanja untuk menjaga defisit anggaran. Realisasi belanja negara kemungkinan hanya akan mencapai 96 persen. Artinya, akan ada pemotongan anggaran secara alamiah sebesar empat persen. Dengan begitu, ia menghitung akan ada sisa anggaran dari tidak tercapainya target belanja sebesar Rp 80 triliun.

Dengan sisa anggaran ini, dia melihat adanya kemungkinan pemerintah tidak menambah pembiayaan yang ditargetkan sebesar Rp 330,2 triliun tahun ini. Alhasil, pemerintah bisa saja tidak merevisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara seperti lazim terjadi pada setiap pertengahan tahun.

“Kecuali ada perubahan asumsi makro seperti harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) dan lifting minyak,” kata Anton.