Bank Indonesia (BI) meramalkan inflasi makin mengecil pada Maret ini. Mengacu survei BI pada pekan kedua Maret, inflasi hanya 0,18 persen, lebih rendah dibandingkan inflasi pada Februari dan Maret yang sebesar 0,97 persen dan 0,23 persen.
Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo menjelaskan laju inflasi bulan ini menyusut, lantaran adanya penurunan harga komponen pangan bergejolak (volatile food). Meski harga cabai menunjukkan peningkatan, namun harga beberapa komoditi pangan lainnya mengalami penurunan.
“Kalau harga telur ayam dan lain-lain semuanya turun. Jadi kalau 0,18 persen, dihitung per tahun (year on year/yoy) bisa dikisaran 3,81 persen. Dan ini masih sejalan dengan target yang kami canangkan,” ujar Agus di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (13/3). (Baca juga: Harga Cabai Makin Pedas!)
Di sisi lain, sumber inflasi masih berasal dari harga yang diatur pemerintah (administered price) yaitu kenaikan tarif dasar listrik (TDL) untuk golongan 900 Volt Ampere (VA). PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menjadwalkan tiga kali kenaikan tahun ini, yaitu pada Januari, Maret, dan Mei.
Adapun, kenaikan tarif listrik pada Januari lalu berimbas pada naiknya kontribusi komponen energi terhadap inflasi menjadi sebesar 0,27 persen. “Kami lihat 0,18 persen itu ada sumber inflasi ada di harga listrik,” kata dia.
Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan mengatakan tantangan inflasi tahun ini berasal dari tarif listrik dan harga bahan bakar minyak (BBM). Bila tarif listrik naik bertahap sebanyak tiga kali setahun ini, maka inflasi sepanjang tahun ini diperkirakan berkisar 4,2 persen.
Namun, “perkiraan 4,2 persen itu belum memasukkan faktor harga BBM,” kata Anton. Jika ditambah dengan kenaikan harga BBM, maka inflasi bisa mencapai 4,5-4,7 persen tahun ini. Angka ini lebih tinggi dari tahun lalu yang sebesar 3,02 persen. Meski begitu, masih dalam rentang target yaitu 3-5 persen.
Ia merinci, kenaikan tarif listrik untuk golongan tertentu ini berkontribusi sebesar 0,7-0,8 persen terhadap inflasi. Sedangkan kenaikan harga BBM menyumbang sebesar 0,3-0,5 persen. Dengan demikian, kedua komponen itu menambah inflasi sekitar 1,3 persen.
Anton memperkirakan penyesuaian harga BBM akan terjadi pada April mendatang dan berisiko menekan daya beli masyarakat. Maka itu, ia menilai pemerintah perlu menambah bantuan langsung tunai (BLT) guna menjaga daya beli kelompok masyarakat bawah yang tertekan oleh kenaikan harga BBM.
(Baca juga: Tarif Listrik dan BBM Picu Infasi, Pemerintah Perlu Siapkan BLT)
Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Budi Hikmat pun memperkirakan inflasi tahun ini bisa mencapai 4,7 persen lantaran tersulut kenaikan harga BBM nonsubsidi seperti Pertamax dan Pertalite. Kenaikan harga BBM seiring dengan meningkatnya harga minyak dunia setelah membaiknya harga komoditas.
Meski begitu, dia menilai daya beli masyarakat bisa bertumbuh sekitar lima persen. Lantaran kenaikan harga komoditas juga meningkatkan penghasilan masyarakat di daerah-daerah penghasil komoditas. Apalagi, program amnesti pajak (tax amnesty) juga berakhir bulan ini. Program itu jadi salah satu faktor yang turut menekan belanja masyarakat tahun lalu.
“Pertumbuhan daya beli bisa (di atas lima persen). Dulu itu noise dari amnesti pajak karena banyak yang memanfaatkan denda (pajak) yang rendah ini, orang jadi mengurangi konsumsinya,” ujar Budi.