Sri Mulyani: Mengelola APBN Bukan Seperti Tukang Obat

ANTARA FOTO/Ampelsa
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan kuliah umum di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 5 Januari 2017.
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yura Syahrul
10/1/2017, 18.10 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menganggap tidak mudah mengelola keuangan negara sehingga dapat dipercaya dan memiliki kredibilitas. Jika itu tidak dilakukan, ibaratnya seperti tukang obat yang berbeda antara pernyataan dengan kenyataannya.

Menurut Sri Mulyani, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setelah tahun 2014 sempat mengalami guncangan besar. Sebab, selisih antara target dan realisasi (shortfall) penerimaan pajak cukup besar. Alhasil, pelaku pasar mempertanyakan kredibilitas dan efektivitas APBN sehingga tercermin dari hengkangnya dana asing (capital outflow) dan melemahnya mata uang rupiah.

“Jadi pengelola negara tidak bisa kayak tukang obat, apa yang Anda bilang akan diuji,” katanya saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (10/1). (Baca: Belanja di Bawah Target, Defisit Anggaran 2016 Cuma 2,46 Persen)

Apalagi, menurut Sri, akuntabilitas dan kredibilitas menjadi sangat pentig di tengah era keterbukaan dalam mengelola anggaran negara sekarang. Misalnya, defisit anggaran harus dijaga dan dibiayai namun jangan sampai melanggar Undang-Undang (UU) yang membatasi besarannya hingga 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Lantaran besarnya perhatian pelaku pasar dan masyarakat terhadap APBN, maka kualitas pegawai Kementerian Keuangan diuji untuk menciptakan APBN yang kredibel. Dibutuhkan kualitas kinerja yang tinggi mengingat APBN memuat penerimaan yang tidak pasti, sementara belanja negaranya ditetapkan pasti. Defisit anggaran pun dibatasi 2,5 persen untuk pemerintah pusat dan sisanya untuk pemerintah daerah (pemda).

Sayangnya, Sri Mulyani menjelaskan, kondisi saat ini baik dari internasional ataupun dalam negeri tidak mendukung kepastian ekonomi. Penerimaan negara, misalnya, terpengaruh oleh penurunan permintaan dan harga komoditas dunia.

Di sisi lain, terjadi perubahan struktur perekonomian Cina yang mempengaruhi permintaan global. Sedangkan belanja negara bergantung pada penerimaan. (Baca: Target Meleset, Menkeu Prediksi Ekonomi 2016 Tumbuh 5 Persen)

Karena itu, di awal kepemimpinannya sebagai Menteri Keuangan pada akhir Juli 2016, Sri Mulyani memangkas target penerimaan pajak tahun 2016 sebesar Rp 219 triliun. Belanja negara juga dikurangi Rp 137,6 triliun, yang terdiri dari kementerian dan lembaga (K/L) Rp 64,7 triliun serta transfer daerah dan dana desa Rp 72,9 triliun. Tapi, ada sebagian transfer daerah yang jadi dibayarkan tahun lalu, sehingga pemangkasannya tidak sebesar yang diusulkan.

Upaya tersebut menghasilkan defisit anggaran yang ditahan 2,46 persen dari PDB atau senilai Rp 307,7 triliun. Sedangkan shortfall penerimaan pajak yang melebihi target Rp 219 triliun, sehingga mencapai Rp 252 triliun.

Menurut Sri Mulyani, situasi tahun laku tersebut semestinya bisa menjadi pelajaran bahwa APBN dinamis. “Bayangkan apa yang kami lakukan akan sangat mempengaruhi Indonesia. That’s how big your responsibility. Semakin berkualitas, maka semakin mampu menciptakan kepastian bagi Republik Indonesia.”

(Baca: Sri Mulyani Sebut Kerja Sama dengan JP Morgan Tak Menguntungkan)

Belajar dari tahun lalu, dia pun sepakat menetapkan target konservatif pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,1 persen. Meskipun Bank Indonesia (BI) memperkirakan ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5-5,4 persen dan lembaga keuangan internasional memproyeksikan 5,3 persen.

Sri Mulyani menilai, kondisi global masih tidak pasti sehingga pemerintah perlu berhati-hati. “Saya lihat pertumbuhan ekonomi Indonesia 2014-2016 masih sangat early recovery, maka perlu hati-hati untuk desain APBN 2017,” kata dia.