Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menganggap pandangan pesimistis dan sinisme terhadap perekonomian telah merugikan berbagai pihak, termasuk pelaku usaha. Karena itu, para pelaku usaha dan investor semestinya menyebarkan cerita positif tentang perekonomian.
Ia menilai, perekonomian domestik saat ini sudah cukup kuat. Pelaku pasar perlu mempunyai pemikiran yang sama, serta dapat membedakan kondisi yang berasal dari ekspektasi dengan kenyataan yang sudah dibangun selama ini.
Di satu sisi, Sri Mulyani tidak menginginkan kepercayaan diri yang terlalu tinggi sehingga dapat menimbulkan gelembung di pasar. Namun, di sisi lain, pelaku pasar juga harus melihat kondisi perekonomian secara objektif dan tidak semata pesimistis.
“Saya tidak ingin bubble karena Indonesia over confident, tapi rasanya Indonesia tidak banyak diuntungkan karena banyaknya legal, skeptis, dan pesimistis yang agak dominan di berbagai hal. Pandangan kita, investor, lawyer, akuntan, pokoknya terutama yang sinisme,” katanya di depan para pelaku pasar di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Rabu (23/11).
(Baca juga: Dua Pemicu Anjloknya Rupiah, BI Kritik Para Analis)
Lebih jauh, ia menjelaskan, sentimen negatif telah menghambat peningkatan keyakinan konsumen Indonesia. Padahal, mengacu pada survei Bank Indonesia (BI), keyakinan konsumen sudah membaik.
Sentimen negatif tersebut berasal dari dalam dan luar negeri. Ia mencontohkan sentimen negatif yang berkembang terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di DKI Jakarta. Selain itu, sentimen terhadap pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, Donald Trump, yang ingin memproteksi perdagangannya.
“Jangan mudah ter-distract dari kondisi politik saat ini. Apalagi baca WhatsApp yang isinya hasutan,” kata Sri Mulyani. (Baca juga: Efek Trump, Pengusaha Minta Pemerintah Ubah Strategi Dagang)
Di sisi lain, Sri Mulyani menyayangkan jika lemahnya kemampuan pelaku pasar dalam melihat kondisi ekonomi saat ini justru akan membebani hal-hal yang sudah dibangun. Padahal, peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Bussines/EODB), misalnya, sudah naik 15 level ke peringkat 91 dunia.
“Kalau pemerintah dan masyarakat memiliki kesamaan melihat masalah, bisa langsung membandingkan dan fokus apa sih yang mau diselesaikan dalam ekonomi dan sosial politik Indonesia,” ujar dia.
Ia memastikan, pemerintah sudah mengelola instrumen ekonomi yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kredibel. Defisit anggaran tahun ini diperkirakan sedikit di atas 2,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan tahun depan diproyeksikan hanya 2,41 persen dari PDB. Adapun pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran lima persen.
Jika dibandingkan dengan India yang tumbuh 7,5 persen namun defisitnya 9 persen, Sri Mulyani melihat ekonomi Indonesia lebih baik. Bahkan, defisit anggaran Brazil sempat tembus 10 persen pada 2015.
“Makanya saya (menilai) agak offside kalau Indonesia dibanding dengan Brazil, dibilang lebih rendah. Saya tidak suka analisis ngawur. Saya lebih suka analisis yang kritis itu penting untuk saya,” katanya.