Bank Indonesia (BI) mencatat, cadangan devisa (cadev) merosot US$ 643 juta atau setara Rp 8,5 triliun dalam sebulan menjadi US$ 115,04 miliar pada akhir Oktober lalu. Para ekonom melihat, penurunan ini disebabkan arus keluar dana asing (capital outflow) dari pasar obligasi dan saham.
Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih mengatakan, investor sempat menjual surat utangnya lantaran harganya sudah terlalu mahal. Jadi, tujuannya untuk mengambil untung (profit taking). Kondisi ini juga dibenarkan Ekonom Bank Permata Josua Pardede.
Berdasarkan catatan Josua, arus keluar dana asing dari pasar obligasi mencapai US$ 716 juta. Sementara itu, penjualan bersih oleh investor asing (net sell) di pasar saham sebesar US$ 176 juta. (Baca juga: Clinton atau Trump, Siapa Paling Bahaya Bagi Bursa Saham?)
Meski begitu, Josua menilai, masih ada penyebab lain penurunan cadangan devisa pada Oktober lalu yaitu merosotnya penerimaan ekspor. “Juga ada perkiraan kenaikan (pembayaran) utang luar negeri,” kata Josua kepada Katadata, Senin (7/11).
Adapun dari sisi operasi moneter, dia menilai, cadangan devisa semestinya tidak banyak tergerus untuk intervensi pasar dan menjaga rupiah. Sebab, BI sebaliknya cenderung menyerap valuta asing melalui lelang Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) valas sebesar US$ 340 juta pada Oktober lalu.
Perkembangan Cadangan Devisa
2016 | Jumlah (US$ miliar) |
Januari | 102,134 |
Februari | 104,544 |
Maret | 107,543 |
April | 107,711 |
Mei | 103,591 |
Juni | 109,789 |
Juli | 111,409 |
Agustus | 113,539 |
September | 115,671 |
Oktober | 115,037 |
Namun, ia mengakui, nominal lelang tersebut lebih rendah dibanding bulan sebelumnya yang sebesar US$ 550 juta.
Meski begitu, mengacu pada data cadangan devisa BI, ongkos operasi moneter tercatat meningkat dari hanya Rp 148,3 triliun pada September menjadi Rp 209,7 triliun pada Oktober lalu. Tapi, biaya operasi moneter tersebut masih lebih rendah dibanding Agustus lalu yang sebesar Rp 222,2 triliun.
Ke depan, baik Lana maupun Josua menilai, cadangan devisa berpeluang kembali bertambah seiring masuknya dana repatriasi dari hasil program pengampunan pajak (tax amnesty) di akhir tahun. “Pastinya pengaruh ke cadangan devisa, apakah (dana repatriasi) langsung masuk Desember atau dibagi-bagi di November atau mungkin Oktober ada juga,” kata Lana.
Sekadar informasi, mengacu pada data Direktorat Jenderal Pajak, dana repatriasi hingga awal November ini mencapai Rp 142,6 triliun. Dana tersebut bakal masuk ke Tanah Air secara bertahap.
Sejauh ini, menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dana repatriasi yang sudah masuk mencapai Rp 40-an triliun. Sisanya, diprediksi bakal masuk jelang akhir tahun nanti.“Yang Rp 100 triliun itu akan masuk, dan kami antisipasi di Desember,” katanya, Kamis (3/11) pekan lalu.
(Baca juga: BI Waspadai Repatriasi Dana Tax Amnesty Rp 100 Triliun Akhir Tahun)
Lana menambahkan, seiring dengan masuknya dana repatriasi senilai Rp 100 triliun atau setara US$ 7 miliar tersebut, kurs rupiah terhadap dolar Amerika juga bakal semakin menguat. Namun, ia yakin BI tidak akan membiarkan rupiah terlalu perkasa. Prediksi Lana, BI akan menjaga rupiah di kisaran Rp 13.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Meski merosot, BI menilai posisi cadangan devisa saat ini aman lantaran cukup untuk membiayai 8,8 bulan impor atau untuk mendanai 8,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Level cadangan devisa sekarang masih di atas standar kecukupan internasional yaitu sekitar tiga bulan impor.
“Kami menilai cadev tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara.