Pemerintah sedang mengkaji cara untuk memungut pajak dari perusahaan digital (Over The Top/OTT) seperti Google, Facebook, Yahoo, dan Twitter. Rencananya, pemerintah akan mengajak perusahaan-perusahaan tersebut untuk berdiskusi guna mencari solusi terkait masalah perpajakan. Tapi, jika tak ada jalan temu, pemerintah akan membawa sengketa tersebut ke pengadilan pajak.
"Ditjen pajak akan menggunakan pasal yang ada, kami punya wadah untuk mendiskusikan hal itu. Kalau sepakat atau tidak sepakat ada peradilan pajak," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (16/9).
Sri Mulyani mengatakan Ditjen Pajak sebetulnya sudah berupaya memungut pajak dari perusahaan OTT tersebut dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, perusahaan-perusahaan tersebut berdalih dan memiliki argumen masing-masing. (Baca juga: Pemerintah Kejar Pajak Google, Facebook, Twitter, dan Yahoo).
Google misalnya, menolak untuk diperiksa Ditjen Pajak. Perusahaan digital asal Amerika Serikat ini tak mau ditetapkan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT). Perusahaan ini kemudian mengirim balik surat pemeriksaan pajak yang diserahkan oleh Direktorat pimpinan Ken Dwijugiasteadi itu. Sekedar catatan, perusahaan asing yang memiliki aktivitas di Indonesia hanya bisa dipajaki jika memiliki status BUT.
Sesuai Pasal 2 ayat 5 Undang-Undang Pajak Penghasilan, BUT atau Permanent Establishment (PE) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia.
BUT bisa berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan. Kemudian pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, hingga pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain. Ketentuannya sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
Masalahnya meski sudah memiliki perusahaan di Indonesia, perusahaan tersebut tidak berbisnis di Indonesia. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan Google Indonesia tidak berbisnis iklan di dalam negeri. Bisnis iklan di Indonesia dijalankan oleh Google Singapura.
“Kalau dari sisi Google, yang subjek terhadap pajaknya bukan Google Indonesia,” ujarnya saat ditemui di Kompleks Istana Presiden, Jumat (16/9).(Baca juga: Pemerintah Akan Investigasi Pajak Google)
Menurutnya Kementerian Keuangan tak bisa asal menetapkan ketentuan BUT begitu saja. Memang pada prinsipnya orang berbisnis dimanapun memang harus membayar pajak. Tapi, perlu dipahami bahwa tiap negara punya aturan pajak yang berbeda-beda. Karenanya pemerintah perlu memperhitungkan faktor perjanjian pajak antarnegara. “Saya harus bicara lagi dengan Menteri Keuangan,” kata dia.
Sementara Sri Mulyani mengatakan dalam menangani pajak perusahaan-perusahaan OTT ini, Pemerintah sebetulnya bisa mengupayakan cara lain dengan menerbitkan aturan perpajakan baru. Namun, kata Sri, pihaknya perlu melakukan kajian mendalam lebih dulu.
Kementerian Keuangan perlu membandingkan peraturan-peraturan sejenis di negara lain. Jangan sampai peraturan yang dibuat justru membikin Indonesia tidak kompetitif dalam pengembangan ekonomi berbasis digital ini. "Jangan sampai kami membuat rezim peraturan yang kemudian dianggap tidak kompetitif dan juga bisa menjadi sangat tidak mampu mengoleksi potensi penerimaan negara," ujar Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, jika diperlukan, pemerintah juga bisa membawa wacana soal pajak perusahaan OTT dalam forum internasional yang melibatkan menteri-menteri keuangan di dunia. Tujuannya supaya semua satu suara dalam penanganan pajak perusahaan OTT. (Baca: Prancis Buru Pajak Google dan McDonald's).
Sebagai informasi, sebelumnya Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak mencoba menelisik pajak keempat perusahaan digital raksasa sejak Maret lalu. Kepala Kantor Wilayah Pajak Khusus Muhammad Hanif mengatakan dinamika pemeriksaan terhadap keempat perusahaan berkembang dengan pesat, sebelum Google mengembalikan surat pemeriksaan pada Agustus lalu. Artinya, menurut Hanif, tidak ada niatan Google untuk membayar pajak di Indonesia.
Menanggapi sikap Google, Hanif menjelaskan, pihaknya akan melakukan langkah lanjutan. “Kami akan tingkatkan itu menjadi bukti pembelaan atau investigasi. Karena, menolak untuk diperiksa adalah indikasi pidana,” kata Hanif.