Bank Indonesia (BI) mencatat, utang luar negeri (ULN) pada kuartal II-2016 mencapai US$ 323,8 miliar atau naik 6,2 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Pemicunya adalah kenaikan utang pemerintah, sementara utang luar negeri swasta justru menurun. Jadi, pembiayaan pertumbuhan ekonomi masih bertumpu dari utang pemerintah.
Utang luar negeri pemerintah pada kuartal II lalu melonjak 18 persen menjadi US$ 158,7 miliar. Sedangkan ULN swasta turun 3,1 persen menjadi US$ 165,1 miliar. Bahkan, penurunan ULN swasta lebih dalam dibandingkan kuartal I lalu yang melorot 0,5 persen secara tahunan (year on year).
Sektor usaha yang mencatat pertumbuhan utang yakni sektor listrik, gas, dan air bersih. Sebaliknya, pertumbuhan tahunan ULN sektor industri pengolahan melambat. Adapun ULN sektor pertambangan dan sektor keuangan mengalami penurunan yang lebih dalam dibandingkan kuartal I-2016.
Menurut Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual, penurunan utang swasta itu mengindikasikan investasi di sektor swasta masih lemah, yang sejalan dengan rendahnya haga komoditas. Pangkal soalnya adalah permintaan yang masih lemah sehingga swasta kurang berminat untuk berutang.
Sektor manufaktur, misalnya, mencatat kenaikan permintaan namun jumlahnya belum signifikan. “Itu karena kapasitas dalam negeri masih cukup, sehingga belum butuh untuk ekspansi,” kata David kepada Katadata, Selasa (23/8). (Baca: Defisit 2017 Meningkat, Pemerintah Bersiap Kembali Ijon Utang)
Melihat kondisi tersebut, peran sektor swasta untuk menopang perekonomian masih sulit diharapkan. Artinya, pengeluaran pemerintah, baik dari sisi belanja modal dan infrastruktur, menjadi sangat berperan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menyatakan, pertumbuhan ekonomi yang belum membaik menahan minat korporasi untuk menggelar ekspansi usahanya. Sebaliknya, pelonggaran kebijakan moneter oleh BI semestinya menjadi pertimbangan bagi swasta untuk berutang di dalam negeri ketimbang luar negeri.
“ULN swasta akan cenderung meningkat, juga sekiranya ekonomi domestik sudah membaik secara signifikan disertai dengan peningkatan megaproyek yang mengikutsertakan investasi swasta,” kata dia. (Baca: Defisit Anggaran Melebar, Pemerintah Tambah Utang Rp 17 Triliun)
Sebelumnya, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, rata-rata perusahaan dalam negeri memilih membayar utang lantaran pertumbuhan omsetnya menurun. “Mereka (pengusaha) lebih memilih bayar utang, perusahaan Indonesia bayar lebih awal keditnya. Karena itu ULN swasta menurun,” katanya. Penyebabnya, permintaan baik dari domestik ataupun global masih lemah.
Kondisi ini pula yang menyebabkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan pada kuartal II lalu hanya 5,9 persen. Pertumbuhannya lebih rendah dari kuartal I-2016 yang sebesar 6,4 persen. “Daripada simpan uang, sebagian korporasi memilih melunasi kredit dan utang luar negerinya,” ujar Perry.
(Baca: Pelebaran Defisit, Darmin: Jangan Sampai Utang Bablas)
Di sisi lain, ULN pemerintah pada kuartal II lalu naik 18 persen atau lebih tinggi dari kuartal I-2016 yang meningkat 14 persen. Josua mengatakan, peningkatan ULN pemerintah tersebut sejalan dengan penerbitan obligasi berdenominasi euro (Euro Bond) dan yen (Samurai Bond) pada kuartal II lalu untuk pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Karena itulah, ULN jangka panjang pada kuartal II-2016 meningkat 7,7 persen dibandingkan periode sama 2015. Sedangkan ULN jangka pendek turun 3,1 persen menjadi US$ 41,5 miliar.