Rupiah mendadak melemah hingga turun di bawah level 13.500 per dolar Amerika Serikat (AS). Ini merupakan posisi terendah mata uang Indonesia tersebut dalam tiga bulan terakhir. Anjloknya rupiah menjelang pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia soal suku bunga acuan BI rate dan kemungkinan kenaikan bunga acuan AS bulan depan.
Pada perdagangan di pasar spot, Kamis pagi (19/5), rupiah langsung anjlok ke posisi Rp 13.550 per dolar AS atau lebih rendah 1,3 persen dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. Ini merupakan posisi terendah rupiah sejak 9 Februari lalu.
Bahkan, jika dibandingkan dengan posisi terkuat rupiah dalam setahun terakhir sebesar Rp 13.057 per dolar AS pada 14 Maret lalu, rupiah sudah melorot 3,8 persen. Alhasil, sejak awal tahun ini penguatan rupiah tersisa 2 persen setelah sempat mencetak kenaikan sebesar 5 persen.
Sementara itu, berdasarkan kurs tengah JISDOR di Bank Indonesia (BI), Kamis ini, rupiah melemah ke posisi Rp 13.467 per dolar AS. Dibandingkan hari sebelumnya, rupiah telah melemah 1,1 persen.
Pelemahan rupiah ini menjelang pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur BI selama dua hari pada Kamis siang ini. Rapat itu untuk memutuskan suku bunga acuan BI rate. David Nathatnael Sutyanto, Analis First Asia Capital, memperkirakan bank sentral akan mempertahankan BI rate sebesar 6,75 persen setelah secara agresif memangkas suku bunga acuan tersebut dalam tiga bulan pertama tahun ini.
(Baca: Otoritas Moneter Waspadai Kenaikan Fed Rate)
Di sisi lain, anjloknya rupiah tersebut sejalan dengan penguatan tajam dolar AS. Bloomberg mencatat, The Bloomberg Dollar Spot Index naik 0,8 persen ke posisi tertingginya dalam tujuh pekan terakhir. Indeks dolar ini merangkum pergerakan dolar AS terhadap 10 mata uang utama dunia.
David menyatakan dolar AS melanjutkan reli penguatannya berkat spekulasi kenaikan bunga acuan AS, Fed rate, pada Juni nanti. Spekulasi ini berhulu dari hasil risalah rapat bank sentral AS bulan April lalu, yang baru dirilis Rabu malam waktu setempat (18/5) atau Kamis dinihari tadi.
Risalah rapat itu mengindikasikan keinginan banyak pejabat bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga bulan depan. Hal ini menambah peluang kenaikan Fed rate sebanyak dua kali tahun ini, setelah sebelumnya ditaksir hanya naik satu kali.
Penguatan dolar AS juga menekan harga sejumlah komoditas berdenominasi dolar AS. Harga minyak mentah di AS turun 0,87 persen menjadi US$ 47,89 per barel. Sedangkan harga emas turun 1,4 persen.
(Baca: Pemerintah Rajin Rilis Obligasi, Rasio Utang Naik Jadi 36,5 Persen)
Ariston Tjendra, Kepala Riset Monex Investindo, sepakat dengan David. Ia menyebut, ekspektasi kenaikan bunga AS dalam waktu dekat ini semakin besar karena melihat positifnya sejumlah data-data ekonomi di negara itu. Antara lain, indeks harga konsumen AS pada April lalu tumbuh 1,1 persen dibandingkan periode sama 2015.
“Ada juga komentar pejabat The Fed yg membuka kemungkinan kenaikan (suku bunga) dua kali tahun ini, dari sebelumnya hanya satu kali,” katanya kepada Katadata. Alhasil, Ariston memperkirakan, rupiah berpotensi akan terus melemah hingga kepastian kenaikan suku bunga AS menjadi Rp 13.600 per dolar AS.
Di sisi lain, David melihat faktor di dalam negeri turut menekan rupiah. Faktor negatif itu adalah kenaikan utang luar negeri pada kuartal I lalu dan rencana pemangkasan anggaran. “Ini menjadi sentimen negatif bagi rupiah,” katanya.
(Baca: APBN Dipotong Rp 50 T, Jokowi Mau Pangkas Lagi Dana Kementerian)
Sekadar informasi, dua hari lalu, BI mengumumkan total utang luar negeri (ULN) Indonesia per akhir Maret lalu atau kuartal I-2016 mencapai US$ 316 miliar. Jumlahnya naik 5,7 persen dari periode sama 2015 atau tumbuh 1,9 persen dibandingkan kuartal IV-2015. Alhasil, rasio ULN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat menjadi 36,5 persen.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Instruksi Presiden yang berisi pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar Rp 50 triliun. Penyebabnya adalah seretnya penerimaan negara, terutama dari sektor perpajakan. Bahkan, Presiden berencana kembali memangkas anggaran negara tahun ini. Langkah tersebut mengancam rencana pemerintah menggenjot belanja dan investasi untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen pada tahun ini.