Tiga institusi penegak hukum, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan Kejaksaan Agung, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bisa memahami keinginan pemerintah untuk memberlakukan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). “Restu” ini bakal meringankan langkah pemerintah agar bisa segera menerapkan kebijakan yang kontroversional ini karena berpotensi memicu moral hazard.
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menyatakan, KPK hingga saat ini belum menerima draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty. Meski begitu, KPK sebagai lembaga hukum tidak dalam posisi menyetujui ataupun menolak rancangan beleid tersebut, yang tengah dibahas pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebaliknya, lembaga antirasuah ini akan mendukung kebijakan pengampunan pajak karena bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun, di sisi lain kebijakan itu bertujuan “mengampuni” masuknya dana-dana bermasalah yang selama ini diparkir di luar negeri. “Kami berkomitmen mendukung ini (tax amnesty) untuk kemaslahatan dan kesejahteraan Indonesia,” kata Laode saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi Keuangan (Komisi XI) DPR di Jakarta, Selasa (26/4). Rapat untuk membahas RUU Tax Amnesty itu juga dihadiri perwakilan kepolisian, Kejaksaan Agung dan PPATK.
Meski begitu, KPK memberikan beberapa catatan terkait rancangan beleid tersebut. Laode menyatakan, beberapa kejahatan harus dikecualikan dari kebijakan tersebut. Antara lain, dana-dana yang terkait dengan terorisme, narkoba, dan kejahatan lainnya.
Selain itu, dia meminta agar RUU Tax Amnesty mencantumkan secara jelas batas waktu kebijakan pengampunan pajak. Sebab, tax amnesty ini merupakan upaya terpaksa yang harus dilakukan pemerintah. “Ketika satu persen orang kaya ini dikecualikan (melalui tax amnesty), ini tidak adil. Karena itu, masa waktunya dan target pemasukannya harus ditentukan,” ujarnya.
(Baca: Direktorat Pajak Jamin Kerahasiaan Data Tax Amnesty)
Pendapat serupa disampaikan Ketua PPATK M. Yusuf. “Kami siap melaksanakan komitmen yg dicantumkan dalam UU ini nantinya,” kata dia. Yusuf menyatakan, ada posisi dilematis yang dihadapi pemerintah dalam menjalankan program pembangunan infrastruktur secara masif di tengah seretnya penerimaan negara.
Padahal, telah ditemukan fakta banyaknya uang orang Indonesia di luar negeri yang dapat digiring masuk ke dalam negeri lewat tax amnesty. “Contoh (data) yang dirilis Menteri Keuangan ada 6.000 WNI yang punya dana sekitar Rp 11.400 triliun. Belum lagi (data) Offshore Leaks, Singapore Papers, dan sebagainya,” ujar Yusuf.
(Baca: BI Peringatkan Risiko Masuknya Dana Tax Amnesty Rp 560 Triliun)
Namun, untuk mendukung keberhasilan kebijakan itu, perlu adanya kejelasan terkait data wajib pajak yang mengikuti tax amnesty. Tujuannya agar data itu tidak digunakan oleh KPK, kejaksaan, dan kepolisian untuk mengusut wajib pajak tersebut. Selain itu, data tersebut tidak digunakan sebagai bahan awal untuk pengusutan kasus tindak pidana korupsi. “Kalau tidak ada declare itu, mereka (wajib pajak) akan maju-mundur (ikut program tax amnesty),” kata Yusuf.
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah mengatakan, pemerintah dan DPR perlu cermat sebelum mengesahkan RUU Pengampunan Pajak ini. Alasannya, jangan sampai kebijakan ini gagal meningkatkan kepatuhan wajib pajak seperti yang terjadi tahun 1984 dan 2008. “Kegagalan ini karena kurang kuatnya database. Dirjen Pajak harus memiliki data yang akurat,” katanya.
(Baca: Tax Amnesty Diduga Picu Tiga Jebakan Moral)
Selain itu, Arminsyah menyarankan agar penegakan hukum dapat dilakukan secara tegas pasca selesainya tax amnesty. Dengan sanksi yang tegas, tak ada lagi praktik penghindaran pajak di kemudian hari.
Secara keseluruhan, Kejaksaan Agung tidak menolak rencana kebijakan pengampunan pajak. Bahkan, Arminsyah mengatakan perlu dilakukan percepatan pembahasan dan penyusunan RUU ini agar dapat segera dijalankan.
(Baca: Tarif Tax Amnesty Usulan Pemerintah Dinilai Terlalu Rendah)
Adapun Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Dwi Priyanto mengingatkan, RUU Pengampunan Pajak ini bersifat lex specialis. Sebab, beleid ini bakal menyebabkan sejumlah perdebatan dengan UU yang lain. Karena itu, semua pihak lain yang terkait diharapkan dapat menerima beleid pengampunan pajak ini jika sudah disahkan.
“Untuk mencegah penyalagunaan wewenang, penyuapan dalam implementasi, perlu memperkuat pengawasan terhadap pejabat pajak dalam menerapkan UU Pengampunan Pajak.”