KATADATA - Dewan Perwakilan Rakyat mempertanyakan mekanisme pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) apabila terjadi krisis ekonomi. Anggota Komisi XI DPR RI dari PDI Perjuangan Andreas Eddy Susetyo mengatakan dalam pinjaman tersebut harus mengenal limit sehingga pemerintah dapat menghitung beban keuangan negara.
Hal tersebut merujuk kepada beleid keempat pasal 41 Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan di mana pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS. Beleid tersebut menyebutkan bahwa dalam restrukturisasi perbankan pemerintah dapat mendukung pendanaan dengan memberikan pinjaman kepada LPS. “Jadi jangan seperti blanket guarantee,” kata Andreas saat rapat RUU JPSK di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 7 Maret 2016.
Hal yang sama disampaikan anggota Komisi Keuangan lainnya dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Ecky Awal Muharam. Dia meminta kepastian pemerintah mengenai batas pinjaman kepada LPS. Hal ini agar efek dari sebuah krisis yakni utang yang angat besar dapat diminimalisasi. (Baca: UU JPSK Hampir Rampung, Pemilik Bank Bermasalah Bakal Diburu).
Di kesempatan yang sama, Ketua Komisi Keuangan DPR Ahmadi Noor Supit mengatakan pendanaan terhadap LPS ini wajib dibicarakan sebelum RUU JPSK disahkan. Hal tersebut karena DPR maupun Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan mengusahakan agar dana talangan atau bailout dijadikan opsi terakhir. Tujuannya, agar kejadian seperti krisis 2008 lalu tidak terulang. “Kita bicarakan skema dan juga batasannya apalagi yang kita dahulukan adalah bail ini,” kata Ahmadi.
Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan saat ini KSSK membuka kemungkinan pembahasan batas pinjaman dengan DPR. Masalah pinjaman memang merupakan hal krusial yang harus dipertimbangkan untuk menghadapi krisis karena saat ini dana kelolaan LPS hanya mencapai Rp 60 triliun, jumlah yang menurutnya cukup kecil untuk menghadapi sebuah krisis ekonomi. (Lihat pula: Pembahasan RUU JPSK Penangkal Krisis Hampir Rampung).
Bambang juga memastikan mekanisme bailout akan menjadi opsi yang dihindari Pemerintah. Nantinya, Kementerian Keuangan dapat menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) dan dibeli oleh Bank Indonesia sehingga LPS dapat meminjam dan dari BI dengan jaminan dari Pemerintah. “Ini pinjaman dari konteks krisis dan akan dikembalikan,” katanya.
Selain itu, sebelumnya dia menyatakan yang penting dari beleid ini terkait dengan kewenangan pemerintah bersama Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk menjamin pemenuhan kewajiban bank. Para pemilik bank wajib menyediakan sejumlah dana untuk mencegah dampak sistemik dari risiko krisis keuangan.
Selain itu, KSSK akan mengejar pemilik bank yang berada di luar negeri kalau banknya mengalami masalah likuiditas. “Istilahnya pemilik bank bertanggung jawab sampai titik darah penghabisan,” ujarnya. Pasalnya, rata-rata bank besar di Indonesia dimiliki oleh pemodal asing. Kalau pemodal lokal yang menjadi mitra tidak sanggup memenuhi kewajiban pendanaan maka pemerintah akan mengejar para pemilik modal asing tersebut.