Utang Luar Negeri dan Dana Hasil Ekspor Kerek Cadangan Devisa

Agung Samosir|KATADATA
Penulis: Yura Syahrul
8/1/2016, 19.26 WIB

KATADATA - Setelah sempat hampir tergelincir di bawah US$ 100 miliar, cadangan devisa Indonesia kembali meningkat signifikan per akhir Desember 2015. Jumlahnya mencapai US$ 105,9 miliar atau bertambah US$ 5,7 miliar dari bulan sebelumnya. Ini dapat menjadi tambahan amunisi bagi Bank Indonesia (BI) untuk menjaga mata uang rupiah di tengah memburuknya pasar keuangan global.

Direktur Eksekutif BI Tirta Segara mengatakan, kenaikan cadangan devisa tersebut ditopang oleh tiga faktor. Yaitu penarikan pinjaman luar negeri pemerintah, penerimaan hasil ekspor minyak dan gas bumi (migas) dan penerbitan obligasi global pemerintah sebesar US$ 3,5 miliar pada Desember lalu.

“Itu cukup untuk menutupi kebutuhan devisa,” katanya dalam siaran pers BI, Jumat (8/1). Devisa itu dipakai untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai nilai fundamentalnya. Dana yang dikeluarkan BI untuk operasi pasar terbuka sepanjang Desember 2015 mencapai US$ 177,2 miliar, atau lebih rendah dari bulan sebelumnya yang sebesar US$ 241,6 miliar.

(Baca: Utang Luar Negeri Tahan Penurunan Cadangan Devisa Akhir Tahun)

Menurut Tirta, cadangan devisa saat ini cukup untuk membiayai 7,7 bulan impor atau 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Selain itu, berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor. “Kami menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan,” katanya.

(Baca: Capai Rp 3.089 Triliun, Rasio Utang Pemerintah Naik Jadi 27 Persen)

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai, pelaku pasar merespons positif kenaikan cadangan devisa tersebut. Posisi cadangan devisa saat ini setara dengan dua kali lipat dari total utang jangka pendek pemerintah senilai US$ 56,2 miliar per kuartal III-2015. Ini masih lebih baik ketimbang cadangan devisa Malaysia dan Turki yang masing-masing Cuma satu kali dan 0,8 kali dari total utang jangka pendeknya.

Namun, David menyarankan agar BI dan pemerintah tetap berhati-hati karena gejolak pasar keuangan global masih terus berlangsung. Cadangan devisa perlu terus dipupuk karena rupiah masih rentan melemah akibat efek berantai perlambatan ekonomi Cina. Ia memperkirakan, tren perlambatan ekonomi Cina masih berlanjut dan bakal berpengaruh terhadap pasar keuangan global.

(Baca: Soros Peringatkan Krisis 2008 Bisa Terulang Gara-Gara Cina)

“Makanya harus dijaga keseimbangan, kita (pemerintah) mau cari pertumbuhan ekonomi ke depan tapi perhatikan juga masalah cadangan devisa dan utang,” katanya kepada Katadata.

Pasalnya, pemerintah masih membutuhkan pendanaan dari luar negeri untuk memacu pertumbuhan ekonomi di atas lima persen. Sedangkan pendanaan dari luar negeri, seperti penerimaan ekspor, belum cukup untuk membiayai defisit transaksi berjalan dan defisit anggaran. “Defisit kita besar, sementara ini bisa dibiayai dengan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) atau portofolio.”

Reporter: Desy Setyowati