KATADATA - Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015 banyak yang meleset dari target. Akibatnya, defisit anggaran pun membengkak hingga 2,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Demi menambal defisit tersebut, pemerintah terpaksa menambah jumlah utang.
Berdasarkan siaran pers Kementerian Keuangan bertajuk “Realisasi Pelaksanaan APBNP Tahun 2015”, Minggu (3/1), realisasi pendapatan negara tahun 2015 mencapai Rp 1.491,5 triliun atau cuma 84,7 persen dari target yang sebesar Rp 1.761,6 triliun. Pendapatan tersebut terdiri atas penerimaan pajak, bea dan cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Dari jumlah tersebut, realisasi penerimaan perpajakan (termasuk bea dan cukai) mencapai Rp 1.235,8 triliun atau 83 persen dari target. Adapun realisasi pajak total gross yang memperhitungkan kas yang dialokasikan untuk restitusi pajak mencapai Rp 1.150 triliun. Sedangkan realisasi pajak netto sebesar Rp 1.055 triliun atau cuma 81,5 persen dari target. “Melambatnya pertumbuhan ekonomi di tahun 2015 telah berdampak terhadap penerimaan perpanjakan, terutama pada sektor industri pengolahan dan pertambangan,” seperti tercantum dalam siaran pers tersebut.
Sementara itu, realisasi belanja negara juga meleset. Sepanjang 2015, realisasi belanja negara mencapai Rp 1.810 triliun atau 91,2 persen dari pagunya dalam APBNP 2015. Belanja negara itu terdiri dari realisasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.187,1 triliun atau cuma 90 persen dari pagunya.
Rinciannya, belanja kementerian/lembaga negara (K/L) dan non K/L masing-masing sebesar 91 persen dan 88 persen. Tingkat penyerapan belanja K/L itu dipengaruhi oleh terhambatnya penyerapan di awal tahun akibat perubahan nomenklatur K/L. “Realisasinya meningkat signifikan sejak kuartal III.”
Meski begitu, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani pernah menyebutkan, belanja pemerintah tahun 2015 bisa melebihi 93 persen. Tingginya penyerapan belanja pemerintah tersebut diharapkan bisa memacu pertumbuhan ekonomi tahun 2015 yang cenderung melambat akibat melorotnya belanja konsumsi rumahtangga dan melempemnya ekspor.
Lantaran pendapatan jauh di bawah belanja negara, defisit anggaran tahun 2015 mencapai Rp 318,5 triliun atau 2,8 persen dari PDB. Jumlah tersebut lebih tinggi dari target defisit anggaran dalam APBNP-2015 yang sebesar Rp 222,5 triliun atau 1,9 persen terhadap PDB.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Perekonomian optimistis defisit anggaran tahun 2015 tidak bakal melebihi tiga persen terhadap PDB, atau sesuai dengan undang-undang. “Defisit anggaran dalam rentang yang terkendali sesuai amanat Undang-Undang (UU) (3 persen), sangat dibutuhkan untuk mengoptimalkan pembangunan infrastruktur yang kami inginkan,” timpal Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara dalam keterangan pers yang diterima Katadata, Minggu (3/1).
Alhasil, pemerintah harus menambah utangnya untuk membiayai atau menutup pembengkakan defisit anggaran tersebut. Utang untuk pembiayaan defisit tahun 2015 mencapai Rp 329,4 triliun atau naik 48 persen dari target APBNP-2015. Jumlah tersebut juga lebih tinggi dari utang untuk pembiayaan defisit tahun 2014 yang sebesar Rp 262,4 triliun.
Utang tersebut didominasi dari pembiayaan dalam negeri sebesar Rp 309,3 triliun. Sedangkan utang luar negeri cuma Rp 20 triliun. Suahasil menyebut, penambahan utang itu bersumber dari pinjaman bilateral dan multilateral, yang dinilai lebih murah bagi anggaran negara.
Agar pemerintah bisa menjaga defisit anggaran yang tidak melampaui target, Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyarankan, pemerintah perlu lebih realistis dalam menyusun target penerimaan pajak pada tahun ini. Ia mengusulkan revisi target penerimaan perpajakan menjadi Rp 1.260 triliun dari target yang tercantum dalam APBN 2016 sebesar Rp 1.368 triliun.
Prastowo juga berharap, target penerimaan cukai tahun 2016 diturunkan dari Rp 145 triliun menjadi Rp 135 triliun. Hal ini penting untuk memberi ruang pemulihan ekonomi, menjaga iklim investasi, dan kesempatan yang jernih bagi reformasi sistem perpajakan.