KATADATA ? Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih mengkaji usulan perubahan sistem kontrak kerjasama usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas. Kajian tersebut terkait apakah akan menghilangkan atau tetap menggunakan pengembalian biaya investasi (cost recovery).
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Totok Daryanto mengatakan dalam pembahasan sistem kerjasama migas, ada opsi untuk tetap menggunakan cost recovery yang telah disempurnakan. Ada juga opsi untuk menghapus cost recovery dengan pembagian hasil yang menguntungkan bagi negara.
"Kami pertimbangkan terlebih dahulu, apakah cost recovery yang disempurnakan itu juga bisa digunakan atau tidak,? ujarnya di Jakarta, Senin (14/9).
(Baca: Aturan Skema Baru Kontrak Migas Ditargetkan Selesai Akhir Agustus)
Meski mendapat porsi bagi hasil yang besar, negara juga harus menanggung beban investasi lewat cost recovery. Namun, ada ketidakpastian mengenai total besaran bagi hasil migas yang didapat dari pemerintah karena pembayaran cost recovery dilakukan belakangan.
Totok mengatakan sistem gross revenue yang tidak lagi menggunakan cost recovery sebenarnya lebih sederhana. Negara menerima bagi hasil migas bersih, tanpa harus mengganti biaya investasi yang dikeluarkan kontraktor. (Baca: Skema Baru KKS, Porsi Bagi Hasil Pemerintah Sedikit di Awal Produksi)
Meski demikian, kata Totok, perubahan sistem kontrak kerjasama belum tentu bisa membuat industri migas lebih baik di masa depan. Apalagi sistem yang diterapkan saat ini sudah berjalam lama dan akan sulit beradaptasi dengan sistem baru. ?Mesti dihitung juga kalau sistem ini diubah, akan berubah semuanya, baik dari kelembagaannya, mekanismenya, termasuk kontrak-kontrak dan sebagainya," ujar Totok.
(Baca: SKK Migas: Sistem Baru KKS Buat Kontraktor Migas Tak Terkendali)
Anggota Komisi VII DPR Mercy Chriesty Barends mengaku belum bisa menjelaskan sistem kerjasama migas seperti apa yang sedang dibahas di DPR saat ini. Sejauh ini draft RUU Migas masih menunggu telaah akhir dari fraksi-fraksi di DPR.
"RUU Migas masih dalam tahap pembahasan. Kami masih menunggu telaah dari berbagai pihak, baru bisa dibuka ke publik," ucap Mercy.
Mercy tidak setuju jika kontrak kerjasama migas diubah menjadi sistem konsesi, seperti yang diterapkan pada sektor pertambangan. Alasannya, sistem ini membuat sektor migas semakin tidak terkontrol. Pemerintah akan sulit melakukan fungsi pengawasan jika menggunakan sistem konsesi.
(Baca: DPR Tak Setuju Pertamina Bisa Pakai Sistem Pajak dan Royalti)