Diskusi Ditjen Pajak-DPR soal Tax Amnesty Dipertanyakan

KATADATA
Pengampunan pajak baru-baru ini dibicarakan dalam diskusi terbatas Direktorat Jenderal Pajak dengan sejumlah politisi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Penulis: Safrezi Fitra
29/5/2015, 15.52 WIB

KATADATA ? Wacana penerapan kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak yang dinilai kontroversial, ternyata baru-baru ini telah dibicarakan dalam diskusi terbatas Direktorat Jenderal Pajak dengan sejumlah politisi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

?Soal tax amnesty ini dibicarakan dalam sebuah FGD (focus group discussion) Rabu lalu, dengan mengundang sejumlah pihak, termasuk anggota DPR,? ujar sumber Katadata.

Anggota DPR yang hadir saat itu, antara lain Aziz Syamsuddin dan Fadel Muhammad. Keduanya berasal dari Fraksi Golkar. Selain itu, hadir pula ekonom Aviliani. Adapun motor dari Ditjen Pajak, yaitu John Hutagaol, yang kini menjabat Direktur Peraturan Perpajakan II.

Ketika dimintai konfirmasi, Aviliani membenarkan adanya diskusi terbatas tersebut. ?John Hutagaol (Direktur Peraturan Perpajakan II) yang mengundang,? ujarnya. ?Diharapkan, ini menjadi usulan bersama, terutama dari DPR.?

Dalam sejumlah pemberitaan, Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito juga mengatakan, pembahasan draf  Undang-Undang terkait ini diharapkan sudah bisa diusulkan dalam rapat paripurna dan Komisi di DPR pada Juni-Juli tahun ini sebagai salah satu prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) 2016.

(Baca: Pengampunan Pidana Pajak Koruptor Tunggu Persetujuan DPR)

Ketergesa-gesaan inilah yang mengundang pertanyaan berbagai kalangan, termasuk soal penyelenggaraan FGD tersebut. Sebab, sejauh ini di internal pajak sendiri belum ada hasil kajian yang komprehensif tentang rencana penerapan tax amnesty.

?Sebaiknya dirumuskan dulu dengan matang di Ditjen Pajak, dan dikaji plus-minusnya, baru dilempar keluar,? kata Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA).

Lagi pula, diskusi kebijakan yang sudah melibatkan institusi lain, seperti halnya DPR, selayaknya berada di level Kementerian Keuangan. Dengan begitu, diharapkan rencana kebijakan tidak prematur dan tanpa melalui kajian yang matang.

Salah satu isu kontroversial yang mencuat di balik rencana kebijakan tax amnesty ini adalah lingkup pengampunan yang tidak hanya pada aspek pajak, tapi juga pada praktik korupsi di balik penguasaan aset tersebut. Yang dikecualikan hanyalah kasus narkotika dan terorisme.

?Sejauh yang saya pelajari, tidak ada negara yang menerapkan kebijakan tax amnesty dengan mencakup aspek pidana korupsi,? ujar Prastowo. Penerapan tax amnesty pun, perlu didahului dengan perbaikan kualitas data pajak dan penegakan hukum yang sungguh-sungguh.

Kedua aspek inilah yang kini dinilai masih sangat lemah di Indonesia, khususnya setelah muncul kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi versus Kepolisian. Sehingga, penerapan tax amnesty secara terburu-buru justru akan memberi ruang bagi pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan, sementara negara tidak mendapat manfaat optimal.

Wacana tax amnesty muncul didasari oleh pertimbangan bahwa negara akan mendapat penerimaan pajak lebih besar dari para wajib pajak yang selama ini menyembunyikan kekayaannya, khususnya di luar negeri.

Menurut kalkulasi Aviliani, ada sekitar Rp 1.500 orang Indonesia yang menempatkan dananya  di luar negeri. Jika itu bisa ditarik, ada potensi penerimaan negara hingga Rp 100 triliun.

Sebagai bagian dari upaya penarikan dana tersebut, diakuinya bahwa dalam FGD dibahas ihwal pengampunan pajak terhadap semua wajip pajak yang terkena perkara pidana, termasuk untuk para koruptor, kecuali teroris dan pelaku narkoba.

?Kuncinya, kepercayaan wajib pajak terhadap negara. Harus nyaman, jangan sampai dikasuskan kembali begitu ganti pemerintah,? ujarnya.

(Baca: Pemerintah Akan Terapkan Tax Amnesty pada 2017)

Kapan beleid ini akan diberlakukan, dalam FGD memang disimpulkan tidak bisa diterapkan pada tahun ini. Butuh persiapan mengenai pembahasan aturan dan teknisnya, yang baru bisa dilakukan tahun depan.

Penerapan aturan ini pun harus terintegrasi dengan aturan dan pemangku kepentingan lainnya. Kuncinya, sistem perpajakan harus dibenahi terlebih dahulu. Jika sistem perpajakannya sudah baik, akan secara otomatis bisa berintegrasi dengan penegak hukum lainnya.

Sebelumnya, Ditjen Pajak sempat menyatakan akan menerapkan pengampunan pajak secara hukum bagi pelaku pelanggaran di sektor keuangan pada 2017. Skema yang diusulkan merupakan tax amnesty yang diperluas.

Dirjen Pajak Sigit Pramudito mengatakan, pemberian pengampunan ini bukan disebut tax amnesty, melainkan legal amnesty (pengampunan hukum) atau special amnesty (pengampunan khusus) seperti yang diterapkan di Afrika Selatan.

Adapun, fokus pemberian pengampunan tersebut adalah untuk menarik dana yang terparkir di luar negeri, yang potensi pajaknya diperkirakan mencapai Rp 100 triliun.

Saat ini, rencana pemberian pengampunan tersebut masih dibahas bersama institusi penegak hukum lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian. ?DPR yang mengumpulkan,? katanya.

Indonesia pernah memberlakukan kebijakan tax amnesty pada 1984. Namun, kebijakan ini dinilai tidak efektif, karena kurang direspons oleh wajib pajak. Selain itu, kebijakan ini diberlakukan tanpa dibarengi dengan pembenahan sistem administrasi perpajakan.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution