KATADATA ? Dalam sebulan terakhir, nilai tukar rupiah menjadi mata uang yang melemah paling dalam terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di antara negara-negara Asia. Tercatat, rupiah melemah 3,1 persen yang kemudian diikuti won Korea Selatan yang turun 1,4 persen.
Hari ini, Rabu (25/2), rupiah diperdagangkan di kisaran Rp 12.849-Rp 12.905 per dolar AS. Ini sekaligus mencatatkan posisi terendah rupiah semenjak krisis keuangan 1998.
Menguatnya dolar AS tersebut, menurut Ekonom DBS Group Research Gundy Cahyadi, seiring kebijakan bank sentral sejumlah negara, termasuk Bank Indonesia (BI), yang menurunkan suku bunga acuannya.
Apalagi di sisi lain, bank sentral AS, the Fed, punya rencana untuk menaikkan suku bunganya. Langkah ini bisa membalikkan aliran modal dari negara-negara dengan pasar yang mulai berkembang atau emerging market, termasuk Indonesia, ke AS.
?Penurunan suku bunga dikhawatirkan akan semakin memperlemah rupiah,? kata Gundy di Jakarta, Rabu (25/2).
Gundy menyebutkan, dia awalnya memperkirakan rupiah akan berada posisi Rp 12.900 per dolar AS hingga akhir tahun. Namun, rupiah diprediksi akan melemah lebih dalam seiring kebijakan moneter beberapa negara yang semakin membuat dolar AS perkasa.
Pelemahan rupiah tersebut, juga terlihat dari selisih kurs di pasar spot dengan pasar berjangka (forward) satu tahun. Berdasarkan data Bloomberg, selisih nilai rupiah di pasar spot dan berjangka pada hari ini mencapai 1.012 poin atau melebar 19 persen dalam sebulan.
Lebih lanjut, kata Gundy, pemerintah tidak memanfaatkan pelemahan rupiah secara maksimal untuk mendorong kinerja ekspor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas pada Januari 2015 sebesar US$ 11,2 miliar atau turun 8,5 persen dibandingkan Desember 2014.
Padahal, nilai tukar efektif riil atau real effective exchange rate (REER) yang dikeluarkan Bank of International Settlements (BIS), kurs rupiah saat ini justru lebih kompetitif dibandingkan dolar AS. Per Januari 2015, indeks nilai rupiah sebesar 91,9 poin atau 8,1 persen lebih rendah dari rata-rata indeks per bulan yang dipatok pada angka 100.
Jika tidak mampu memacu kinerja ekspor, dia memperkirakan rupiah bisa terus melemah. Apalagi ekonomi ditargetkan tumbuh sebesar 5,7 persen pada tahun ini. Artinya impor barang modal pun akan meningkat, sehingga menaikkan permintaan dolar AS.