Keuntungan RI Gabung BRICS: Peluang Ekonomi, Geopolitik dan Diversifikasi Pasar
Brasil, sebagai pemegang presidensi BRICS 2025, resmi mengumumkan Indonesia sebagai anggota penuh organisasi internasional ini. BRICS adalah blok ekonomi yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, dengan tambahan anggota baru seperti Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab.
Sejumlah ekonom melihat adanya keuntungan yang diperoleh Indonesia dengan bergabung sebagai anggota BRICS, terutama dari sisi ekonomi, perdagangan dan geopolitik.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai keanggotaan BRICS bisa membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisi geopolitik di kancah global.
“Indonesia dapat berpartisipasi dalam pembentukan sistem keuangan alternatif yang dikembangkan BRICS,” kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Selasa (7/1).
Hal ini termasuk penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral yang berpotensi mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Yusuf juga menyebut peluang pemanfaatan New Development Bank (NDB) BRICS untuk pendanaan proyek infrastruktur dan pembangunan berkelanjutan.
Kerja sama perdagangan juga dapat ditingkatkan, terutama di sektor strategis seperti energi terbarukan, teknologi digital, dan industri manufaktur, dengan Cina dan India sebagai mitra utama.
Selain itu, Yusuf menilai forum BRICS dapat dimanfaatkan untuk mendorong agenda pembangunan berkelanjutan dan transisi energi, mengingat Indonesia adalah produsen nikel terbesar dunia dengan potensi besar di energi terbarukan.
Mengurangi Ketergantungan dengan AS dan Eropa
Sementara itu, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mencatat peningkatan proporsi ekonomi negara BRICS dari 15,66% pada 1990 menjadi 32% pada 2022.
Menurut Huda, bergabungnya Indonesia dengan BRICS memberikan peluang untuk mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional seperti AS dan Eropa. Ia menyoroti hambatan dagang seperti kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR) terhadap kelapa sawit sebagai tantangan yang bisa diatasi dengan diversifikasi pasar.
“Eropa pun sebenarnya sudah mulai rese dengan kebijakan ekspor Indonesia dimana sering terlibat perselisihan dalam hal perdagangan global. Salah satunya adalah hambatan EUDR untuk komoditas kelapa sawit,” kata Huda.
Huda juga melihat peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat akses ke pasar Timur Tengah, sejalan dengan keinginan pemerintah.
Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menambahkan bahwa BRICS mencakup negara-negara ekonomi besar seperti Cina dan India, yang memiliki pangsa ekonomi global sekitar 40%.
Dengan akses ke pasar besar ini, Indonesia dapat meningkatkan ekspor komoditas seperti minyak kelapa sawit (CPO), batu bara, dan produk manufaktur.
“Ekspor CPO Indonesia ke India mencapai 20% dari total ekspor, dan angka ini berpotensi meningkat jika hubungan dagang diperkuat dalam kerangka BRICS,” ujar Media.