KATADATA ? Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan saat ini adalah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Menurutnya ada lima hal positif yang bisa mengurangi risiko yang akan terjadi, jika pemerintah bisa menaikkan harga BBM bersubsidi saat ini.
(Baca: Pemerintah Perlu Naikkan Harga BBM Bersubsidi)
Hal pertama adalah rencana bank sentral Amerika Serikat The Fed untuk menaikan suku bunga pada tahun depan. Artinya beban pemerintah akan sangat besar jika kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi dilakukan pada tahun depan.
?Tahun depan ada rencana kenaikan suku bunga The Fed, jadi terpukul dua kali. Jadi kemungkinan ada outflow dana kalau The Fed lebih ketat kebijakan moneternya, suku bunga naik. Portfolio investment akan pergi,? ujarnya kepada Katadata, Jumat (15/8).
Kedua, inflasi sejak awal tahun hingga saat ini tercatat masih rendah. Seperti diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, laju inflasi tahun kalender (Januari-Juli) baru mencapai 2,94 persen, dari target APBNP 2014 sebesar 5,3 persen. Laju inflasi ini dinilai masih terkendali, karena sudah melalui momen lebaran dan kenaikan kelas, yang biasanya menjadi puncak inflasi.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi masih diatas 5 persen. Keempat, sentimen regional dan global masih dalam kondisi yang positif. Dan yang terakhir, risiko politik saat ini yang masih positif. ?Risiko politik lebih rendah, pemilu sudah selesai dan nggak ada risiko. Waktu itu kan takut, alasannya ada risiko pemilu,? ujarnya.
Menurut David, untuk mengurangi risiko yang lebih besar, kenaikan harga BBM bersubsidi lebih baik dilakukan bertahap hingga tahun depan. Namun, sebesar 70 persen kenaikan tersebut dilakukan saat ini dan 30 persen lagi dilakukan tahun depan.
Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) Agustinus Prasetyantoko mengatakan pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi saat ini. Hal ini dilakukan agar bisa mengejar target defisit neraca transaksi berjalan sebesar 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
(Baca: Defisit Transaksi Berjalan Melebar Hingga 4,3 Persen dari PDB)
?Itu jalan keluar yang paling baik karena beban impor makin kecil. Kemungkinan ada fiskal space (ruang fiskal) kalau subsidi dikurangi. Jadi masih ada sebagian yang bisa digunakan untuk akselerasi ekspor non migas yang bisa mendorong ekspor non migas,? ujarnya.
Dia juga menjelaskan, penurunan impor bisa dengan cara mengurangi impor bahan baku. Namun cara tersebut akan berdampak pada penurunan pertumbuhan menjadi di kisaran 5,1-5,2 persen saja. Sementara dari sisi ekspor, menurutnya dengan telah selesainya persoalan di sektor migas akan membantu peningkatan ekspor pada kuartal 3-2104.
?Ekspor bisa membaik karena persoalan mineral. Kuartal 3 ekspor mineral bisa membaik. Kalau bisa dinaikan secara signifikan, ekspor mineral dan migas akan membantu trade balance (neraca perdagangan) yang akan mendukung pencapaian defisit transaksi berjalan,? ujar Prasetyantoko.