Golkar Sang Penentu, Demokrat yang Pecundang

KATADATA/
KATADATA | Dok. KATADATA
Penulis:
Editor: Arsip
26/5/2014, 15.34 WIB

KATADATA ? Pendeklarasian pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pekan lalu memberikan ketidakpastian terhadap politik Indonesia.

Kegagalan PDI-P merangkul Golkar ke dalam gerbong koalisi untuk memenangkan Joko Widodo (Jokowi) memunculkan kekhawatiran akan efektivitas pemerintah lima tahun ke depan.

Berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Golkar meraih 91 kursi atau 16,3 persen dari total kursi di parlemen. Dengan jumlah kursi parlemen yang dimilikinya, memungkinkan partai berlambang beringin itu menjadi penentu (decider) dalam pengambilan keputusan di DPR.

Persoalannya, masing-masing blok koalisi pengusung kandidat presiden, baik yang dipimpin PDI-P maupun Gerindra, tidak ada satu pun yang dapat menjadi mayoritas di DPR tanpa melibatkan Golkar.

Koalisi PDI-P misalnya, hanya memiliki 207 kursi atau 37,0 persen di dalam parlemen. Hal ini dapat menghambat efektivitas pemerintahan Jokowi jika berhasil memenangi pilpres. Namun ada kemungkinan Golkar akan bergabung dengan blok koalisi ini jika Jusuf Kalla, sebagai wakil presiden, berhasil mengambilalih kepemimpinan di partai itu.

Begitu pula pada blok koalisi Gerindra yang mengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Koalisi ini memiliki 291 kursi atau 52,1 persen dari total kursi di parlemen. Ini termasuk dukungan kursi Golkar. Namun jika tidak melibatkan Golkar, blok koalisi ini hanya memiliki 201 kursi atau 35,9 persen suara.
(Baca: Ini Sebab Deklarasi Capres Direspons Negatif Pasar)

Dengan tidak adanya blok koalisi yang mampu menjadi mayoritas, berarti posisi Golkar akan menjadi penentu. Terutama dalam pengambilan kebijakan strategis yang memerlukan persetujuan DPR selama lima tahun ke depan. Golkar berpotensi menjadi swing voters di parlemen.

?Inilah hebatnya Golkar. Mereka menjadi king maker dari kebijakan yang akan dilakukan pemerintah lima tahun ke depan. Ini sebetulnya yang dibaca pelaku pasar setelah deklarasi pasangan capres dan cawapres,? kata Lin Che Wei, pendiri Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI).

 
Adapun Partai Demokrat dengan memiliki 61 kursi atau 10,9 persen telah menyatakan tidak berpihak di antara dua kandidat presiden. Dengan jumlah kursi tersebut, sebetulnya peran Demokrat memang tidak terlalu menentukan dalam blok koalisi.

Persoalannya, dengan tambahan kursi dari partai berlambang segitiga tersebut masing-masing blok tetap tidak dapat menjadi mayoritas di parlemen. Blok PDI-P hanya akan memiliki 268 kursi atau 47,9 persen. Sementara blok Gerindra memiliki 262 kursi atau 46,8 persen.

?Suara Demokrat baru akan signifikan, misalnya, kalau Golkar terpecah,? tutur Lin Che Wei.

Sementara dua partai, yakni Nasdem dan PAN masing-masing menjadi partai yang mengambil untung dalam blok koalisi. Di dalam bisnis, keduanya adalah pihak yang mengambil keuntungan di awal (early bird).

Nasdem merupakan partai pertama yang melengkapi kekurangan suara PDI-P untuk mencalonkan Jokowi. Sedangkan PAN merupakan partai yang perolehan kursinya tertinggi di antara partai koalisi Prabowo. Alhasil, Nasdem dapat menyorongkan Jusuf Kalla sebagai cawapres Jokowi. Kemudian Hatta Rajasa menjadi cawapres Prabowo.

?Menurut saya, king maker dalam proses pilpres kali ini adalah Surya Paloh. Dia berhasil menempatkan JK sebagai cawapres Jokowi, walaupun perolehan suaranya kecil,? kata Lin Che Wei.

Empat partai lain, yakni PKB dan Hanura di blok koalisi Jokowi, serta PKS dan PPP di blok koalisi Prabowo, statusnya hanya sebagai pengisi kekosongan masing-masing koalisi. Gabungan kursi partai-partai tersebut tidak cukup membawa blok koalisi masing-masing untuk mencapai mayoritas.

?Suara mereka pun tidak lagi signifikan untuk memenuhi syarat minimal mengajukan capres,? tuturnya.

Reporter: Aria W. Yudhistira