Bank Indonesia (BI) menilai rupiah masih memiliki ruang untuk menguat, meski saat ini berada di kisaran level Rp 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Alasannya, otoritas moneter menilai rupiah secara fundamental masih terlalu murah atau undervalued.
"Jadi memang ruang penguatan untuk rupiah masih ada," ujar Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti dalam Bicara Data Virtual Series "Perlukah 'Helicopter Money' saat krisis Covid-19?", Kamis (25/6).
Dalam acara Bicara Data yang diselenggarakan oleh Katadata, Destry menjelaskan, salah satu faktor fundamental yang akan mendorong nilai rupiah adalah inflasi yang rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi Mei 2020 berada di level 0,07% secara bulanan dan 2,19% secara tahunan.
Tak hanya itu, defisit transaksi berjalan yang diperkirakan masih rendah juga akan menopang rupiah. BI memperkirakan, defisit transaksi berjalan hanya 1,5-1,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun ini.
Proyeksi tersebut berkaca dari kondisi neraca transaksi berjalan kuartal I 2020 yang sebesar US$ 3,9 miliar atau 1,4% dari PDB. Selain itu, kegiatan ekspor Indonesia saat ini, dinilai BI, mampu memberi sentimen positif terhadap rupiah.
"Ekspor minyak kepala sawit atau crude palm oil (CPO) misalnya, kami lihat market-nya sudah mulai hidup," ujarnya.
Dengan demikian, eksportir sudah mulai menjual dolar AS yang dipegang. Namun, ia mengaku volume ekspor saat ini masih kecil karena perekonomian Indonesia yang relatif masih melambat.
(Baca: Peningkatan Kasus Corona Giring Rupiah ke Level Terlemah Kedua di Asia)
Selain faktor fundamental, Destry menilai faktor psikologis juga menjadi salah satu yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar.
"Tapi sensitivitas faktor non-ekonomis harus kita waspadai juga," kata Destry.
Mengutip Bloomberg, nilai tukar rupiah pada perdagangan pasar spot Kamis (25/6) sore melemah 0,32% ke level Rp 14.175 per dolar AS. Berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang dipublikasikan BI, rupiah berada di level Rp 14.231 per dolar AS.
Berdasarkan catatan BI, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 3,75% secara point to point atau 5,69% secara rerata dibandingkan dengan level pada periode Mei 2020 hingga 17 Juni 2020. Meski demikian, nilai saat ini masih terdepresiasi 1,42% bila dibandingkan dengan level akhir 2019.
Berlanjutnya penguatan rupiah dinilai BI ditopang oleh meredanya ketidakpastian pasar keuangan global. Kemudian, tingginya daya tarik aset keuangan domestik dan terjaganya kepercayaan investor asing terhadap prospek kondisi ekonomi Indonesia.
Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar, bank sentral terus mengoptimalkan operasi moneter guna memastikan bekerjanya mekanisme pasar dan ketersediaan likuiditas baik di pasar uang maupun pasar valas.
(Baca: Dibuka Menguat, Rupiah Berpotensi Melemah Akibat Ramalan Buruk IMF)